Ibadah Yang Paling Dicintai Allah subhanahu wa ta’ala

Ibadah Yang Paling Dicintai Allah subhanahu wa ta’ala
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang dipuji dengan semua jenis pujian, yang disifatkan dengan semua sifat keagungan. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang memberi petunjuk kepada hamba-Nya dengan yang dicintainya dan memudahkan jalan kepadanya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi terpilih lagi terpercaya. Shalawat dan salam Rabbku kepadanya hingga hari pembalasan.
Wa ba’du: Sesungguhnya menurut kadar kesungguhan hamba dalam merealisasikan ubudiyahnya kepada Rabb-nya pada sesuatu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan diridhai-Nya dari hamba-Nya sempurnalah kecintaan hamba kepada Rabb-nya dan terealisasi kecintaan Rabb kepada hamba-Nya.
Apabila persoalannya seperti itu maka sudah menjadi keharusan mengenal apa saja yang dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan dan ucapan. Dan bertolak dari sanalah usaha mengamalkannya dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan dan mengikutinya, serta memohon taufik kepada Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Sungguh di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( اللهم إني أسألك حبك وحب من يحبك وحب العمل الذي يبلغني حبك اللهم اجعل حبك أحب إلي من نفسي وأهلي ومن الماء البارد ))
 ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amal ibadah yang menyampaikan aku kepada cinta kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku kepada diriku, keluargamu dan dari air yang dingin.’
Di antara rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan hikmah-Nya: Dia menjadikan sarana yang menyampaikan kepada cinta dan ridha-Nya, dan Dia subhanahu wa ta’ala telah menjadikan untuk tujuan yang paling mulia lagi paling tinggi –yang dengan dariNya dan mencapai ridhaNya- menjadikan baginya beberapa sarana, yaitu beriman dan beramal shalih yang disyari’atkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya dan telah dijelaskan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Islam dengan akidah dan hukum-hukumnya semua bertujuan merealisasikan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan dekat darinya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى :﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ   [ المائدة: 35]
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah:35)
Dan maksud firman-Nya: وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة  ﴿ : carilah amal shalih yang menyampaikan kepada-Nya, yaitu semua amal ibadah yang hamba mendekatkan diri dengannya kepada Rabb-Nya, untuk mendepatkan cinta, ridha dan dekat dengan-Nya.
                Namun amal-amal shalih yang disyari’atkan, semuanya tidak berada dalam satu tingkatan dalam keutamaan dan disukai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, sekalipun semuanya pada dasarnya disukai dan dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi baginya ada tingkatan yang berbeda dari sisi kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagiannya lebih utama di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dari yang lain. Di antara amal ibadah ada yang mafdhul, ada yang fadhil dan ada yang afdhal. Dan untuk hal itu ada beberapa tingkatan yang tidak terhingga.
                Manusia bervariasi dalam melaksanakan amal ibadah ini, semua itu menurut taufik Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, ini yang pertama-tama, kemudian menurut kekuatan makrifahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, asma, sifat dan af’al-Nya subhanahu wata’ala. Dan menurut pengetahuannya dengan keutamaan amal ibadah yang disyari’atkan, waktu-waktunya yang disyari’atan, dan yang dilarang darinya. Di mana amal shalih berbeda di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dari sisi jenis amal shalih itu sendiri, maka Allah mencintainya karena keagungannya di sisi-Nya melebihi yang lainnya, seperti iman umpamanya, shalat dan lainnya, demikian pula berbeda-beda dari sisi waktu pelaksanaan amal tersebut.
                Terkadang melaksanakan ibadah yang mafdhul di waktunya yang disyari’atkan padanya lebih utama dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dari pada melaksanakan amal ibadah yang  lebih utama di waktu itu. Umpanya: mengulangi ucapan muadzin di waktu adzan lebih utama dari membaca al-Qur`an di waktu tersebut, padahal di waktu yang lain membaca al-Qur`an adalah ibadah dzikir yang paling utama.
                Terkadang Allah subhanahu wa ta’ala mencintai ibadah lebih banyak dari yang lainnya, karena manfaat dan pengaruhnya sampai kepada orang lain, seperti silaturrahim, dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan sedekah. Penjelasan makna ini dijelaskan oleh dua imam: Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumallah dengan sangat jelas:
                Ibnu Taimiyah berkata –dalam Majmu’ Fatawa 22/308: sebagian ulama berkata: menulis hadits lebih utama dari pada shalat sunnah, dan sebagian syaikh berkata: dua rekaat yang saya laksanakan di malam hari, di mana tidak ada orang lain yang melihat lebih utama dari pada menulis seratus hadits. Pada imam yang lain berkata: bahkan yang lebih utama adalah melakukan ini dan ini. Dan yang lebih utama adalah bervariasi dengan berbagai kondisi manusia. Di antara amal ibadah ada yang jenisnya lebih utama, kemudian terkadang menjadi marjuh (kurang utama) atau dilarang darinya, seperti shalat, sesungguhnya ia lebih utama dari pada membaca al-Qur`an, membaca al-Qur`an adalah dzikir yang paling utama, dan dzikir lebih utama dari doa. Kemudian, shalat di waktu-waktu yang dilarang, seperti setelah shalat fajar dan ashar, dan di waktu khutbah adalah dilarang darinya. Dan yang dilakukan pada saat itu bisa dengan membaca al-Qur`an, atau dzikir, atau doa, atau mendengarkan hal itu.
                 Dan kita mengutip ucapan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dengan ringkas dari kitab ‘Madarijus Salikin’ dalam menjelaskan fikh yang jauh ini dalam ibadah, ia berkata:
                Yang paling utama di setiap waktu dan kondisi adalah mengutamakan ridha Allah subhanahu wa ta’ala di waktu dan kondisi tersebut dan melaksanakan kewajiban di waktu tersebut, tugas dan tuntutannya. Mereka itu ahli ibadah yang mutlak, dan golongan-golongan sebelum mereka ahli ibadah yang terikat, maka bila salah seorang dari mereka keluar dari jenis yang dia bergantung dengannya dari ibadah dan memisahinya, ia melihat dirinya seolah-olah telah berkurang dan meninggalkan ibadahnya. Ia menyembah menurut jalan yang satu, dan pelaku ibadah mutlak tidak ada tujuan baginya dalam satu ibadah secara tersendiri yang mengutamakannya terhadap yang lainnya. Akan tetapi tujuannya adalah mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala di mana pun adanya. Poros ibadahnya beredar di atasnya (ridha Allah subhanahu wa ta’ala). Ia senantiasa berpindah di dalam tingkatan ibadah. Setiap kali diangkat baginya satu tingkatan yang dia amalkan, ia menyibukkan diri dengannya hingga nampak tingkatan yang lain. Inilah kebiasaannya dalam berjalan sehingga berakhir perjalanannya. Jika engkau melihat ulama niscaya engkau melihatnya bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah tentut engkau melihatnya bersama mereka. Dan jika engkau melihat para mujahid niscaya engkau melihatnya besama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang berdzikir niscaya engkau melihatnya bersama mereka. Dan jika engkau melihat orang-orang yang muhsin niscaya engkau melihatnya bersama mereka. Inilah hamba mutlak yang tidak terikat dalam dalam satu ikatan.
                Dan sebelum saya memulai menjelaskan sisi ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, kita harus menyebutkan beberapa perkara penting yang merupakan syarat diterimanya amal shalih dan dilipat gandakan pahalanya, serta manfaatnya tetap ada di akhirat, yaitu:
1.       Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam semua ibadah, yaitu mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala, ridha-Nya, mengharapkan yang ada di sisi-Nya, mengosongkan hati dari memperhatikan manusia dan bagian jiwa yang segera (di dunia).
2.       Membedakan niat dalam ibadah, banyak yang mengira ia adalah ikhlas dan sebenarnya bukan seperti itu. Ibnul Qayyim berkata: niat dalam ibadah dan ini adalah tambahan terhadap ikhlas. Sesungguhnya ikhlas adalah mengesakan yang disembah (Allah subhanahu wa ta’ala) dari yang lainnya, dan niat ibadah ada dua martabat:
Salah satunya: membedakan ibadah dari rutinitas.
Kedua: membedakan kedudukan ibadah satu sama lain.
3.       Nasihat dalam ibadah, yaitu mengeluarkan segenap kemampuan dalam melaksanakan ibadah menurut cara yang dicintai dan diridhai Rabb subhanahu wa ta’ala. Dan ini menuntut mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
4.       Menjaga pahala amal shalih, dan hal itu dengan berhati-hati dari terjerumus dalam perbuatan yang merusak dan meruntuhkan amal shalih, seperti riya, menyebut pemberian, menyakiti, ujub, mendatangi para peramal dan dukun, dan selain yang demikian itu.
Dan yang beramal harus menjauhi yang menjadi penyebab berpindahnya pahala ibadahnya kepada orang lain. Dan hal itu bisa dengan melakukan tindakan melewati batas terhadap mereka dalam urusan dunia, atau menghalangi mendapatkan hak mereka, atau menyakiti mereka dengan berbagai macam gangguan, seperti ghibah (menggunjing), mencela, mencuri, tidak menyapa yang diharamkan, dan selain yang demikian itu.
Dan kita akan menyebutkan sebagian ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala:
Pertama: ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أحبُّ الأعمال إلى الله إيمانٌ بالله))
 “Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, dan ia adalah dengan mengosongkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala dengan amal hati dan anggota tubuh mengikutinya, karena iman adalah rakyat dan amalan yang sangat banyak. Di antaranya ada yang termasuk amal hati, di antara adalah amal anggota tubuh, dan yang lebih wajib adalah amal hati, ia lebih wajib dalam setiap waktu dan kepada semua mukallaf. Apabila sirna amal hati sirnalah iman. Sebagaimana kebaikan semua amal   iman yang nampak –maksudnya amal anggota tubuh- diterima dan baiknya tergantung kebaikan iman hati yang merupakan dasar. Karena itulah, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya ‘Bada`iul Fawaid’: Mengenal hukum-hukum hati lebih penting dari pada mengenal hukum-hukum anggota tubuh, karena ia adalah dasar dan hukum-hukum anggota tubuh merupakan cabang darinya.
Dasar agama dan kaidahnya di sisi seorang mukmin bertolak dari amal hati yang dimulai dengan menerima keindahan ilmu dan berita-berita Rabbani yang berbuah darinya semua amal hati, seperti yakin kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mengikhlaskan agamanya bagi-Nya, mencintai-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, sabar terhadap hukumnya secara taqdir dan syar’i, takut dari-Nya, berharap kepada-Nya, loyal pada-Nya, hina, tunduk dan kembali kepada-Nya, tenang dengan-Nya, dan selain yang demikian itu sangat banyak.
Dan manusia dalam amal iman secara lahir dan batin berbeda-beda dalam kedudukan dan derajat mereka menurut kadar menunaikannya secara jumlah dan cara. Di antara mereka adalah zhalim terhadap dirinya, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada yang terdahulu dengan kebaikan, dan setiap golongan dari tiga golongan ini ada kedudukan yang tidak bisa menghitungnya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata saat menerangkan hadits: ‘Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah...al-Hadits: Padanya merupakan isyarat bahwa kebaikan gerakan hamba dengan anggota tubuhnya, menjauhinya bagi yang diharamkan, dan menjauhinya bagi yang syubhat adalah menurut kebaikan gerakan hatinya. Jika hatinya salim (bersih, selamat) tidak ada padanya selain mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, mencintai yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan takut terjerumus pada sesuatu yang dibenci-Nya- niscaya baik semua gerakan tubuh, muncul darinya menjauhi semua yang diharamkan, dan menjauhi yang syubhat karena khawatir terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Di sini nampak pertanyaan: kenapa iman merupakan ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala?
Jawabannya: karena dalam merealisasikannya merupakan merasa cukup dengan Allah subhanahu wa ta’ala tanpa membutuhkan dari semua makhluk, arahan hati hanya kepada-Nya saja, dan mengosongkan diri dari selain-Nya. Inilah hakikat ibadah yang karenanyalah Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan jin dan manusia, menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul, dan menjadikan pahala dan siksa.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata –dalam Majmu’ Fatawa’: Hati akan selalu membutuhkan makhluk kecuali bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menjadi Tuhannya yang ia tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya, tidak meminta tolong kecuali dengan-Nya, tidak bertawakkal kecuali atas-Nya, tidak senang kecuali dengan sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya, tidak membenci kecuali yang dimurkai dan dibenci-Nya subhanahu wa ta’ala, tidak loyal kecuali orang yang Allah subhanahu wa ta’ala wala` kepadanya, tidak memusuhi kecuali orang yang dimusuhi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tidak melarang kecuali karena Allah subhanahu wa ta’ala. Maka setiap kali kuat kemurniaan agamanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala niscaya sempurna penghambaan dan merasa kayanya dari semua makhluk, dan dengan kesempurnaan ubudiyahnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala membebaskannya dari kufur dan syirik.
Inilah amal yang utama dan selainnya berada di bawahnya dalam keutamaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Kedua: Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah silaturrahim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أحبُّ الأعمال إلى الله إيمانٌ بالله ثم صِلَةُ الرحم ))

Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menyambung silaturrahim.”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إنَّ الله خلق الخَلْقَ حتى إذا فرَغَ من خَلْقه قالتِ الرَّحِمُ: هذا مقامُ العائذ بك من القطيعة قال: نعم أمَا تَرْضَيْنَ أن أصلَ من وصلَكِ وأقطعَ من قطعَكِ ! قالَتْ: بلى يا رب  قال: فهو لَكِ  قال رسولُ الله r: فاقرؤوا إن شئتم:  } فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ . أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ { [محمد: 22 – 23] )) [رواه مسلم]

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan makhluk sehingga bila Dia selesai dari menciptakannya, rahim berkata: ‘Ini kedudukan orang yang berlindung dengan-Mu dari memutuskan. Dia subhanahu wa ta’ala berfirman: ‘Apakah engkau ridha bahwa Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutusmu? Ia menjawab: Tentu, ya Rabb. Dia subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka ia untukmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bacalah jika kamu menghendaki:
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (QS. 47:22) Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (QS. Muhammad:22-23) (HR Muslim)
Dan dalam hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لعن الله قاطع الرحم))
Allah subhanahu wa ta’ala mengutuk orang yang memutus hubungan tali silaturrahim.”
Para ulama berkata: Hakikat silaturrahim adalah rasa kasih sayang. Al-Qurthubi berkata: Rahim ada dua macam: umum dan khusus.
Pertama: silaturrahim pada agama, wajib menyambungnya sebagai konsekuensi imam, mencintai pemeluknya, membela mereka, menasihati mereka, tidak menyakiti mereka, adil di antara mereka, melaksanakan hak-hak mereka yang wajib seperti mengunjungi orang sakit, dan hak-hak yang meninggal dunia, memandikan, menshalatkan dan menguburkan mereka.
Kedua: Khusus: yaitu rahim kekerabatan dari dua sisi, ibu dan bapaknya. Maka wajib bagi mereka hak-hak khusus dan tambahan seperti memberi nafkah, menanyakan kondisi mereka, tidak melupakan mereka di waktu-waktu mereka yang berharga, dan apabila bertabrakan hak-hak tersebut ia memulai yang terdekat dan yang terdekat.
Ibnu Abi Jamrah berkata: Silaturrahim bisa dengan harta, membantu kebutuhan, menolak bahaya, muka berseri, doa, menyampaikan kebaikan sedapat mungkin dan menghindarkan bahaya sejauh mungkin.
Hal ini terus berlangsung apabila karib kerabat itu orang yang istiqamah. Jika mereka orang kafir atau fasik maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala adalah silaturrahim, dengan syarat sudah berusaha memberi nasihat kepada mereka, kemudian memberi tahu kepada mereka bahwa hal itu disebabkan menjauhnya mereka dari kebenaran. Kendati demikian, tidak gugur kewajiban silaturrahim dengan mereka dengan doa di belakang mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Ketiga: Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أحبُّ الأعمال إلى الله الإيمانُ بالله  ثم صلةُ الرحم  ثم الأمرُ بالمعروف والنهيُ عن المنكر))
Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah iman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menyambung silaturrahim, kemudian amar ma’ruf dan nahi mungkar.”
Ma’ruf adalah semua perbuatan taat, dinamakan ma’ruf karena dikenal oleh akal sehat dan fitrah yang lurus. Ma’ruf yang pertama dan paling besar adalah beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, tidak menyekutukan-Nya, memurnikan ibadah kepada-Nya, meninggalkan penyembahan selain-Nya. Dan setelah itu semua bentuk taat dari yang wajib dan sunnah, semuanya masuk di dalam koridor ma’ruf.
Munkar: yaitu semua dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya. Maka semua maksiat, besar dan kecil, adalah munkar, karena diingkari oleh akal sehat dan fitrah yang lurus. Kemungkaran terbesar adalah syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan pembeda di antara orang beriman dan orang munafik, ia merupakan sifat orang beriman yang paling khusus.
Ada tiga tingkatan amar ma’ruf dan nahi munkar yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((«مَنْ رأى منكم منكرًا فليغيِّره بيده  فإنْ لم يستطعْ فبلسانه  فإنْ لم يستطعْ فبقلبه وذلك أضعف الإيمان)) [أخرجه مسلم].
“Siapa di antaramu yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, jika tidak mampu maka hendaklah (ia merubahnya) dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.’ HR. Muslim.
Demikian pula ada tiga sifat yang harus ada pada yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, yaitu:
1.       Ilmu, bahwa ia mengetahui yang ma’ruf yang dia menyuruhnya dan kemungkaran yang dia melarangnya.
2.       Santun: bahwa ia bersifat santun lagi bijaksana dengan yang dia menyuruhnya dan pada sesuatu yang dia melarang darinya.
3.       Sabar: ia sabar terhadap gangguan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan wasiat Luqman al-Hakim  agar manusia melaksanakan dan mengikutinya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿ يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ  [لقمان: 17].
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman:17)
Mengetahui adalah sebelum menyuruh dan melarang, santun adalah di saat menyuruh dan melarang, dan sabar adalah setelah menyuruh dan melarang.
               
Keempat: Yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah faraidh (kewajiban). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menyampaikan berita dari Rabb-nya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ عادى لي وليًا فقد آذنتُهُ بالحرب وما تقرَّب إليَّ عبدي بشيءٍ أحبَّ إليَّ مما افترضْتُ عليه)) [أخرجه البخاري].
Siapa yang memusuhi wali-Ku maka sungguh ia mengumumkan perang dengan-Ku, dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih kucintai dari yang Kuwajibkan kepadanya.”HR. al-Bukhari.
Firman-Nya: “Siapa yang memusuhi wali-Ku” maksud wali Allah subhanahu wa ta’ala adalah orang yang berilmu, selalu taat kepada-Nya, ikhlas dalam ibadah-Nya. Firman-Nya: ‘dari yang kuwajibkan kepadanya’: fara’idh: masuk di bawah lafazh ini semua kewajiban, fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Serta kewajiban yang zhahir, yaitu:
Perbuatan: seperti wudhu, shalat, zakat, zakat fitrah, puasa, ihram, haji, dan jihad fi sabilillah.
Tazkiyah (pembersihan diri, meninggalkan): seperti zinah, membunuh, meminum arak, riba, memakan daging babi dan yang lainnya berupa segala yang diharamkan dan keji, yang nampak darinya dan yang tersembunyi.
Dan kewajiban yang bathin (tidak nampak): seperti mengetahui Allah subhanahu wa ta’ala, mencintai-Nya, tawakal kepada-Nya, dan takut dari-Nya.
                Menunaikan kewajiban adalah ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan yang paling kuat untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dan dalam melaksanakan kewajiban menurut cara yang diperintahkan berarti: menjunjung perintah, menghormati yang menyuruh, mengagungkan-Nya dengan tunduk kepada-Nya, menampakkan keagungan Rububiyah, dan merendahkan ubudiyah; maka mendekatkan diri dengan hal itu adalah ibadah yang paling agung.
                Kewajiban yang paling dicintai adalah shalat dalam waktunya. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Apakah ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat dalam waktunya.”
Ibnu Baththal berkata: Hadits ini menjelaskan bahwa memulai shalat di awal waktunya lebih utama dari pada menundanya, karena sesungguhnya disyaratkan padanya bahwa amal yang paling dicintai adalah bila dilaksanakan dalam waktunya yang dianjurkan.
Ath-Thabari berkata: Sesungguhnya orang yang menyia-nyiakan shalat yang diwajibkan hingga keluar waktunya tanpa ada uzur, padahal mudah melaksanakannya dan besar keutamaannya, maka ia lebih menyia-nyiakan bagi yang lainnya.
                Maka mengeluarkannya dari waktunya adalah haram. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ . الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ {
[ الماعون:4-5]
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (QS. al-Ma’uun:4-5)
Dan firman-Nya: ‘Bagi orang-orang yang shalat”: yaitu orang-orang yang melaksanakan shalat, kemudian mereka lalai darinya. Bisa jadi meninggalkannya sama sekali dan bisa jadi melalaikannya dari waktunya yang sudah ditentukan secara syara’ maka ia mengeluarkannya dari waktunya secara menyeluruh. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Orang-orang yang menundanya dari waktunya. Dari Abul ‘Aliyah: mereka tidak melaksanakannya dalam waktu, tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.
orang-orang yang lalai dari shalatnya : bisa jadi dari waktunya yang pertama, maka mereka menundanya hingga akhirnya secara terus menerus atau biasanya, bisa jadi lalai dari menunaikannya dengan rukun-rukunya dan syarat-syaratnya menurut cara yang diperintahkan, bisa jadi lalai dari khusyu’ dan tadabbur terhadap makna-maknanya.
Kelima: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai witir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((وإن الله وترٌ يحبُّ الوتر)) [رواه مسلم].
Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala witir (ganjil) menyukai yang witir.” HR. Muslim.
Witir: Tunggal, dan maknanya dalam sesuai sifat Allah subhanahu wa ta’ala: Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada taranya. Esa pada dzat-Nya, maka tidak ada yang serupa dan bandingnya. Esa pada sifat-Nya: maka tidak ada yang menyerupai dan setara. Dan Esa pada perbuatan-Nya; maka tidak ada sekutu dan pembantu bagi-Nya. Ada yang berpendapat: Sesungguhnya makna ‘menyukai witir’: mengutamakan yang witir dalam amal ibadah, maka Dia menjadikan shalat lima waktu, bersuci tiga kali, thawat tujuh kali, sa’i tujuh kali, melontar jumrah tujuh kali, hari-hari tasyriq tiga hari, istinja` tiga kali, dan demikian pula kafan. Dan Dia menjadikan mayoritas makhluk-Nya yang besar berjumlah witir, di antaranya langit, bumi, laut, hari-hari dalam seminggu dan yang lainnya. Dan ada yang berpendapat: Sesungguhnya maknanya ditujukan kepada sifat orang yang menyembah Allah subhanahu wa ta’ala dengan wahdaniyah secara ikhlas. Ada yang berpendapat: memberi pahala dan menerimanya. Ada yang berpendapat bahwa maksudnya adalah shalat witir berdasarkan hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله وتر يحب الوتر فأوتروا يا أهل القرآن )) [أخرجه الترمذي]
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala witir menyukai witir, maka shalat witirlah wahai ahli al-Qur`an.” HR. At-Tirmidzi. Akan tetapi makna hadits itu tidak hanya untuk pengertian itu, akan tetapi bersifat umum lebih nampak.
Keenam: Amal yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah berbakti kepada kedua orang tua. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apakah ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala?
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الصلاة على وقتها»  قلتُ: ثم أي  قال: «ثم بر الوالدين)) [رواه البخاري].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat dalam waktunya.’ Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.”HR. al-Bukhari.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala setelah shalat yang merupakan pondasi Islam yang paling besar dan mengurutkannya dengan ‘kemudian’ yang memberikan urutan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا [ الإسراء :23-24 ]
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:"Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. al-Isra`:23-24)
قال الله تعالى: ﴿ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ  [ لقمان :14 ]
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman:14)
Dan makna: kami katakan kepadanya: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu dan ada yang berkata: bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala terhadap nikmat iman dan kepada kedua orang tua terhadap nikmat pendidikan.
Para ulama berkata: ‘Manusia paling berhak – setelah Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pencipta- disyukuri, berbuat baik, berbakti, taat dan patuh:  orang yang disertakan Allah subhanahu wa ta’ala berbuat baik kepadanya dengan ibadah dan taat serta syukur, mereka adalah kedua orang tua.
Di antara berbakti kepada mereka: menghadapi mereka dengan ucapan yang menunjukkan kemuliaan, yaitu yang tidak ada cacat. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رغم أنفه ثم رغم أنفه  ثم رغم أنفه!! قيل: من يا رسول الله  قال: من أدرك أبويه عند الكبر أحدهما أو كليهما  فلم يدخل الجنة»)) [رواه مسلم].
Berlumpur hidungnya, berlumpur hidungnya, berlumpur hidungnya. Ada yang bertanya: ‘Siapakah ya Rasulullah? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Orang yang mendapati kedua orang tuanya saat tua, salah seorang atau keduanya, maka ia tidak masuk surga.” HR. Muslim.
Orang yang beruntung adalah yang segera mengambil kesempatan berbakti kepada keduanya agar tidak hilang kesempatan dengan wafatnya, maka ia menyesal atas hal itu. Dan orang yang celaka adalah yang durhaka kepada mereka, terutama orang sampai perintah kepadanya untuk berbakti kepada mereka.
Dan termasuk berbakti kepada mereka: tidak menghardik mereka, namun berbicara kepada mereka dengan ucapan yang sopan, seperti: wahai bapakku, wahai mamaku, tanpa menyebut nama atau kunyah mereka. Kasih sayang kepada mereka dan merendahkan diri seperti budak kepada tuannya. Memohon rahmat dan berdoa untuk mereka, menyayangi mereka sebagaimana keduanya menyayanginya, bersikap lembut kepada mereka sebagaimana keduanya bersikap lembut dengannya. Akan tetapi taat kepada orang tua tidak sampai melanggar dosa dan tidak pula sampai meninggalkan fardhu ‘ain.

Ketujuh: amak ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أحب الأعمال إلى الله أن تموت ولسانك رطب من ذكر الله ))
Ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala bahwa engkau wafat sedangkan lisanmu basah karena dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.’
Ath-Thibiy berkata: Basahnya lisan adalah ungkapan karena mudahnya berlakunya sebagaimana keringnya adalah ungkapan kebalikannya, kemudian mengalirnya lisan adalah ungkapan tentang selalu berdzikir.
Asal dzikir adalah ingatnya hati kepada yang disebutkan dan terjagi baginya. Dzikir dengan lisan dinamakan dzikir karena ia menunjukan atas dzikir hati, namun ketika banyak penggunaan dzikir terhadap ucapan dengan lisan, jadilah ia yang dipahami.
Dzikir adalah mendatangkan dengan lafazh-lafazh ada dorongan mengucapkan dan memperbanyaknya, seperti al-Baqiyat ash-shalihat, yaitu subhanallah, al-hamdulillah, laailaaha illallah, dan Allahu Akbar. Dan yang lainnya semisal: hauqalah (laahaula wa laaquwwata illa billah), basmalah, hasbalah (hasbiyallahu ...), istighfar dan semisal yang demikian itu serta doa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala juga ditujukan dan dimaksudkan tekun melakukan amal ibadah yang wajib atau sunnah seperti membaca al-Qur`an, membaca hadits, mempelajari ilmu dan shalat sunnah.
Dzikir bisa dengan lisan dan pembacanya diberi pahala, akan tetapi disyaratkan bahwa ia tidak bermaksud selain maknanya. Dan bila ditambahkan kepada dzikir lisan dengan dzikir hati maka ia lebih sempurna. Dan bila ditambahkan kepada hal itu menghadirkan makna dzikir dan kandungannya berupa pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menafikan kekurangan dari-Nya niscaya bertambah sempurna. Maka jika hal itu terjadi dalam amal shalih niscaya bertambah sempurna. Jika benar pengarahan dan ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal itu maka ia lebih sempurna.
Yang dimaksud dzikir lisan adalah lafazh-lafazh yang menunjukkan tasbih, tahmid, dan tamjid.
Yang dimaksud dzikir hati adalah tafakkur pada dalil-dalil dzat dan sifat, pada dalil-dalil perintah dan larangan sehingga ia mengetahui hukum-hukumnya, pada dalil-dalil berita pembalasan, dan pada rahasia rahasia makhluk-makhluk Allah subhanahu wa ta’ala.
Dzikir hati ada dua bagian:
Salah satunya, yaitu dzikir tertinggi dan paling agung, yaitu memikirkan keagungan Allah subhanahu wa ta’ala, jabarut-Nya, malakut-Nya, dan ayat-ayat-Nya di langit dan bumi-Nya.
Kedua: dzikir hati di sisi perintah dan larangan, maka ia melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang, karena mengharapkan pahala dan takut terhadap siksa-Nya.
Adapun dzikir anggota tubuh, yaitu ia tenggelam dalam taat, dan dari itulah shalat dinamakan dzikir. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ  ﴾ [ الجمعة: 9]
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (QS. al-Jum’at:9)
قال تعالى: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا [ الأحزاب: 41]
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. al-Ahzab:41)
Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh hamba-hamba-Nya agar berdzikir dan bersyukur kepada-Nya, mempekerjakan lisannya dalam setiap kondisi mereka dengan tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Mujahid berkata: Inilah bacaan-bacaan yang diucapkan orang yang bersuci, berhadats dan junub, dan ia berkata: Tiadalah seseorang banyak berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga ia berdzikir sambil berdiri, duduk dan berbaring.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan kepada hamba-Nya satu kewajiban kecuali menjadikan baginya batasan yang diketahui, kemudian ia memaafkan pelakunya di saat  tidak bisa melakukan selain dzikir, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan baginya batasan akhirnya dan tidak memaafkan seseorang dalam meninggalkannya kecuali yang terpaksa meninggalkannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى :﴿ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ [النساء: 103]
... ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. (QS. an-Nisaa`:103)
Malam dan siang, di darat dan di laut, saat safar dan menetap, kaya dan fakir, sakit dan sehat, tersembunyi dan tidak, dalam setiap kondisi, bila kamu melakukan hal itu  niscaya Allah subhanahu wa ta’ala dan para malaikat-Nya mengucapan shalawat kepadamu.
Mu`adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih menyelamatkan dari siksa Allah subhanahu wa ta’ala selain dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dzikir dalam ayat yang sangat banyak dalam al-Qur`an dan menjadikan dzikir-Nya bagi yang berdzikir sebagai balasan bagi yang berdzikir kepada-Nya, sesungguhnya ia  yang terbesar dan menutup amal shalih dengannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ألا أنبئكم بخير أعمالكم  وأزكاها عند مليككم  وأرفعها في درجاتكم  وخير لكم من إنفاق الذهب والورق  وخير لكم من تلقوا عدوكم فتضربوا أعناقهم  ويضربوا أعناقكم ! قالوا: بلى! قال: ذكر الله تعالى )) [أخرجه الترمذي].
Maukah kamu kukabarkan amalmu yang terbaik dan paling bersih di sisi Raja-mu, paling tinggi pada derajatmu, lebih baik bagimu dari berinfak emas dan perak, lebih baik dari bertemu musuhmu lalu kamu menebas leher mereka dan mereka menebas lehermu? Mereka menjawab: ‘Tentu.’ Beliau bersabda: “Dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.’ HR. At-Tirmidzi.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أحب الكلام إلي الله أربع  سبحان الله  والحمد لله  ولا إله إلا الله  والله أكبر  لا يضرك بأيهن بدأت ))
 [أخرجه مسلم].
Ucapan yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala ada empat: ‘subhanallah (maha suci Allah), al-hamdulillah (segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala), laailaaha illallah (Tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala), dan allahu akbar (Allah Maha Besar). Tidak mengapa engkau memulai dengan yang manapun.” HR. Muslim.
Faedah ‘laailaaha illallah’: ada yang mengatakan: Sesungguhnya kalimah ini ada dua keistimewaan: salah satunya: sesungguhnya semua hurufnya ada jaufiyah (rongga), dan huruf jauf adalah yang tempat keluarnya adalah dari rongga. Tidak ada padanya satu huruf dari huruf syafahiyyah (bibir) yang tempat keluarnya dari dua bibir, seperti ba’, faa`, mim, sebagai isyarat bahwa mendatangkannya dari rongga yang murni, yaitu hati, bukan dari kedua bibir.
Kedelapan: Akhlak yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أحب عباد الله إلى الله أحسنهم خلقًا ))
 “Hamba yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala ada yang paling baik akhlaknya.”
Akhlak yang baik: khuluq dan khalq adalah dua ungkapan yang digunakan secara bersamaan. Dikatakan: fulan baik khuluq dan khalaq, maksudnya baik lahir batin.
Dan manusia terdiri dari jasab (tubuh kasar) yang melihat dengan mata, dan ruh dan jiwa yang melihat dengan mata hati, dan masing-masing punya bentuk dan rupa: bisa buruk dan bisa indah.
Khuluq (akhlak, perilaku) adalah ungkapan dalam jiwa yang tetap. Darinya muncul berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa membutuhkan berpikir dan tertunda. Seseorang tidak dikatakan berakhlak yang baik sehingga hal itu menetap dalam tubuhnya, dan muncul darinya berbagai perbuatan dengan mudah. Adapun orang yang memaksakan satu perbuatan dengan berat maka tidak bisa dikatakan bahwa ini adalah akhlaknya. Contohnya: orang yang berusaha memberikan harta karena kebutuhan sesaat atau diam saat marah dengan berat dan susah payah, tidak bisa dikatakan: akhlaknya adalah pemurah dan tidak pemarah.
Sesungguhnya penampilan lahiriyah tidak mungkin merubahnya, sementara akhlak merupakan kebalikan hal itu, di mana ia menerima perubahan. Karena inilah adanya agama, dakwah kepada akhlak yang mulia, amar ma’ruf dan nahi munkar, dan didapatkan wasiat, nasihat dan adab. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى : ﴿ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾ [ الرعد: 11]
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. ar-Ra’ad:11)
Mengusahakan akhlak yang baik lagi baru sangat mungkin dengan mujahadah dan latihan jiwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Rabb-nya agar menunjukkannya kepada akhlak yang terbaik dan memberi taufik kepadanya untuk berakhlak dengannya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( اللهم اهدني لأحسن الأخلاق لا يهدي لأحسنها إلا أنت  واصرف عني سيئها لا يصرف عني سيئها إلا أنت)) [أخرجه النسائي]
Ya Allah, tunjukkan kepadaku akhlak yang terbaik yang tidak bisa menunjukkan kepada yang terbaiknya kecuali Engkau. Palingkanlah dariku akhlak yang terburuk, tidak ada yang bisa memalingkannya dariku kecuali Engkau.HR. an-Nasa`i.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( وخالق الناس بخُلُق حسن ))
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Sebagian ulama mengumpulkan tanda-tanda akhlak yang baik, ia berkata: yaitu banyak malu, sedikit mengganggu, banyak berbuat baik, benar lisan, sedikit bicara, banyak ilmu, sedikit keliru, sedikit melakukan yang sia-sia, berbuat baik, menyambung silaturrahim, tenang, sabar, suka berterima kasih, ridha, santun, lembut, penyayang, tidak mengutuk, tidak mencela, tidak mengadu domba, tidak mengupat, tidak terburu-buru, tidak dengki, tidak kikir, tidak iri, muka berseri, cinta dan benci karena Allah subhanahu wa ta’ala, ridha dan marah karena Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من شيءٍ يوضع في الميزان أثقل من حسن الخلق  وإن صاحب حسن الخلق ليبلغ به درجة صاحب الصوم والصلاة)) [أخرجه الترمذي].
‘Tidak ada sesuatu yang diletakkan di mizan (timbangan) yang lebih berat dari akhlak yang baik. Dan sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik sungguh mencapai derajat orang yang puasa dan shalat.’ HR. At-Tirmidzi.
Sesungguhnya orang yang memiliki akhlak yang baik diberikan keutamaan agung ini karena orang yang puasa dan shalat di malam hari berjuang terhadap jiwa mereka dalam melawannya. Adapun yang memperbaiki akhlaknya bersama manusia, padahal berbeda-beda sifat dan perilaku mereka, maka seolah-olah ia berjuang melawan jiwa yang banyak. Maka ia mendapatkan yang didapatkan oleh orang yang puasa dan shalat di malam hari dalam taat maka keduanya sama dalam derajat, bahkan lebih.
Kemudian, bagi akhlak yang baik ada beberapa faedah, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan atasnya. Ada yang berkata: ia tidak membantah karena sangat mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Ada yang berkata: ia dekat dengan manusia dan asing di antara mereka. Ada yang berkata: ridha kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kesembilan: Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang taqwa, kaya, lagi khafiy: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله يحب العبد التقي الغني الخفي ))
 “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai hamba yang taqwa, kaya lagi samar.”
Taqiy: yaitu yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, menginfakkan rizqi yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, menghindari yang diharamkan Allah, taat dan mengikuti syari’at-Nya yang Dia mengutus dengannya penutup rasul-Nya dan pemimpin mereka.
Yang dimaksud kaya: adalah yang kaya hati, inilah kaya yang dicintai berdasarkan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ليس الغنى عن كثرة العرض  ولكن الغنى غنى النفس )) [أخرجه البخاري].
Bukanlah kaya karena banyaknya harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.”HR. al-Bukhari.
Ibnu Baththal berkata: makna hadits di atas bahwa kaya yang sebenarnya bukanlah dengan banyak harta, karena banyak sekali orang yang diluaskan Allah subhanahu wa ta’ala hartanya ternyata tidak merasa cukup dengan yang diberikan, maka ia terus berusaha menambah dan tidak perduli dari mana datangnya. Seolah-olah ia orang fakir karena sangat tamaknya. Dan hakikat kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa, yaitu orang yang merasa kaya dengan yang diberikan, merasa cukup dengannya dan ridha, tidak tamak untuk menambah dan tidak terus menerus meminta, maka seolah-olah ia orang kaya.
Kaya jiwa muncul dari ridha dengan qadha Allah subhanahu wa ta’ala dan berserah diri kepada perintah-Nya, karena mengetahui bahwa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dan lebih kekal. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Sesungguhnya kekayaan jiwa bisa didapatkan dengan kaya hati, bahwa ia berharap kepada Rabb-nya dalam semua perkaranya, maka terealisasikan bahwa Dia-lah Yang Maha Pemberi lagi Maha Menghalangi. Maka ia ridha dengan qadha-Nya, bersyukur kepada-Nya terhadap segala nikmat-Nya, bersegera kepada-Nya dalam menyingkirkan kesusahannya, maka muncul dari harapan hati kepada Rabb-nya, kaya jiwanya dari selain Rabb-nya subhanahu wa ta’ala.
Khafiy: yaitu yang sibuk beribadah dan mengurus dirinya sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( رب أشعث مدفوعٍ بالأبواب لو أقسم على الله لأبره )) [أخرجه مسلم].
Banyak sekali orang yang berambut tidak terurus, ditolak di pintu, jika ia bersumpah kepada Allah subhanahu wa ta’ala niscaya Dia memudahkan sumpahnya.” HR. Muslim.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai orang yang taqwa lagi samar, yang bila tidak ada (gaib) tidak ada yang mencarinya, jika hadir tidak ada yang mengenalnya, tidak menampakkan diri dengan kebaikan, tidak menampakkan amal dan ilmu, tidak mencari kedudukan di hati makhluk, merasa cukup dengan perhatian Yang Maha Pencipta terhadap ibadahnya tanpa perhatian manusia, meraca cukup dengan pujian Allah subhanahu wa ta’ala saja tanpa pujian manusia.
Kesepuluh: Allah subhanahu wa ta’ala mencintai laki-laki yang mudah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله يحب سمح البيع  سمح الشراء  سمح القضاء )) [أخرجه الترمذي].
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai mudah dalam menjual, mudah dalam membeli dan mudah dalam qadha.” HR. At-Tirmidzi.
Samahah: adalah mudah dan pemurah, dan samahah termasuk bagian dari iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الإيمان الصبر والسماحة )) 
[ أخرجه أحمد].
Iman adalah sabar dan samahah.” HR. Ahmad.
Samah dalam jual beli adalah orang yang mudah lagi pemurah apabila menjual dan membeli, dan memaafkan dari sebagian haknya apabila menjual.
Samah dalam qadha: yaitu orang menuntut haknya dengan mudah, lembut, tidak membosankan atau menyusahkan yang lain. Maka samah adalah yang melakukan transaksi bersama manusia (orang lain) dengan toleran dan mudah, menggunakan akhlak yang tinggi dan menjauhi perselisihan. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menyukai laki-laki yang samah karena kemuliaan dirinya dan bagus akhlaknya dengan yang nampak berupa memutuskan hubungan hatinya dengan hartanya yang merupakan simbol keduniaan dan mengutamakannya kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan memberi manfaat untuk mereka, karena itulah ia mengharuskan kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Kesebelas: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai sikap pemaaf. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله يحب العفو ))
 “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai sikap maaf.” Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى: ﴿ خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ ﴾ [ الأعراف: 199]
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A’raaf:199)
قال تعالى: ﴿ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [آل عمران: 134]
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran:134).
قال تعالى : ﴿ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada taqwa.. (QS. al-Baqarah:237)
‘Afwu (maaf) adalah tidak menghukum karena kesalahan. Shafh: adalah menghilangkan bekasnya di dalam jiwa. Dan maaf adalah dari orang yang mempunyai hak maka ia menggugurkannya pada harta atau kehormatan atau darah dan semisalnya.
Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang mengampuni saat marah dan menyanjung mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى﴿ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ [الشورى: 37].
...dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af. (QS. asy-Syura:37)
‘Afuww (Yang Maha Pemaaf) adalah salah satu asmaul husna, dan maaf adalah salah satu sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Dia subhanahu wa ta’ala memaafkan hamba-hamba-Nya, padahal Dia mampu menyiksa mereka. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى : ﴿ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [النور: 22]
dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada.Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu ?Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nuur:22)
Balasan dari jenis perbuatan, maka sebagaimana engkau memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya, Allah subhanahu wa ta’ala mengampunimu, dan sebagaimana engkau berlapang dada niscaya orang lain berlapang dada juga kepadamu. Dan Allah subhanahu wa ta’ala mendorong menahan kemarahan dan memaafkan orang lain, dan mengendalikan diri saat marah. Itulah ibadah terbesar dan berjihad melawan hawa nafsu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ما من جرعةٍ أعظم أجرًا عند الله من جرعة غيظ كظمها عبد ابتغاء وجه الله )) [أخرجه ابن ماجه].
Tidak ada tegukan yang lebih besar pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dari tegukan kemarahan yang hamba menahannya karena mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala. HR. Ibnu Majah.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( من كظم غيظًا وهو يستطيع أن ينفذه  دعاه الله يوم القيامة على رؤوس الخلائق حتى يخيره من أي الحور شاء )) [أخرجه الترمذي]
“Barangsiapa yang menahan marah padahal ia mampu melampiaskannya, Allah subhanahu wa ta’ala memanggilnya di hari kiamat di hadapan semua makhluk hingga memberikan pilihan kepadanya dari bidadari manakah yang dia kehendaki.”HR. at-Tirmidzi. Maksudnya memperkenalkannya di hadapan umat manusia, memujinya, dan membanggakannya sehingga memberikannya pilihan dalam mengambil bidadari. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( وما زاد الله عبدًا بعفوٍ إلا عزًا  وما تواضع أحد لله إلا رفعه الله ))
 “Dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menambah sifat maaf kepada hamba kecuali kemuliaan, dan tidak bersikap tawadhu’ seseorang karena Allah subhanahu wa ta’ala kecuali Allah subhanahu wa ta’ala meninggikannya.”
Padanya ada dua jalan: pertama bahwa hadits ini menurut zhahirnya bahwa siapa yang dikenal bersikap pemaaf dan berlapang dada niscaya besar dalam hati dan bertambah kemuliannya. Kedua, bahwa maksudnya adalah pahalanya di akhirat dan mulianya di sana. Dan bisa juga yang dimaksud adalah keduanya bersamaan di dunia dan akhirat.
Kedua belas: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai sikap lembut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله يحب الرفق في الأمر كله )) [أخرجه البخاري].
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai sikap lembut dalam semua perkara.” HR. Al-Bukhari. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الله رفيق يحب الرفق  ويعطي على الرفق ما لا يعطي على العنف  وما لا يعطي على ما سواه)) [أخرجه مسلم].
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Maha Lembut menyukai sikap lembut, memberi kepada sikap lembut sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada sikap keras, dan sesuatu yang tidak diberikan kepada selainnya.’ HR. Muslim.
Sikap lembut adalah penyebab segala kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من يحرم الرفق يحرم الخير))
 “Siapa yang dihalangi mendapat sikap lembut niscaya dihalangi mendapat kebaikan.”
Sikap lembut adalah penyebab segala kebaikan, dan sabdanya: ‘Sesungguhnya Allah Maha lembut’ maksudnya Maha Lembut kepada hamba-hamba-Nya, menghendaki kemudahan terhadap mereka dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka, maka Dia tidak memberi beban kepada mereka di luar batas kemampuan mereka. “Memberi kepada sikap lembut”, maksudnya memberi pahala kepadanya yang tidak diberikan kepada selainnya. Maka Dia memberi kepadanya di dunia berupa pujian yang indah, mendapat yang dituntut dan memudahkan yang dimaksud dan di akhirat berupa pahala besar. sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada sikap keras, dan sesuatu yang tidak diberikan kepada selainnya.”
Sikap lembut merupakan hasil akhlak yang baik dan buahnya. Ada yang berkata: Kebijaksanaan adalah engkau meletakkan semua perkara di tempat yang sebenarnya. Keras pada tempatnya, lembut pada tempatnya, pedang ditempatnya, dan cemeti di tempatnya. Dan yang terpuji adalah pertengahan di antara keras dan lembut, sebagaimana dalam semua akhlak. Akan tetapi tatkala tatkala tabiat manusia lebih cenderung kepada kekerasan tentu kebutuhan mendorong mereka dalam sisi kelembutan lebih banyak, karena itulah banyak pujian syara’ terhadap sisi kelembutan, bukan kekerasan.
Dan yang sempurna adalah orang yang membedakan tempat kelembutan dari tempat kekerasan, maka ia memberikan setiap perkara sesuai porsinya. Jika ia kurang bisa memahamai atau susah baginya memahami satu kondisi, maka hendaklah kecenderungannya kepada kelembutan, maka sesungguhnya kesuksesan biasanya bersamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه  ولا ينزع من شيء إلا شانه))
Sesungguhnya sikap lembut tidak ada pada sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidak diambil dari sesuatu kecuali mencemarinya.”

Ketiga belas: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai sikap malu dan menutupi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن الله عز وجل حليم حيي ستير يحب الحياء والستر فإذا اغتسل أحدكم فليستتر )) [أخرجه النسائي].
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala Maha Santun, Malu, lagi menutupi, menyukai sikap malu dan menutupi. Apabila salah seorang darimu mandi maka hendaklah ia menutupi.” HR. An-Nasa`i.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان )) [أخرجه مسلم].
Iman terbagi lebih dari tujuh puluh cabang, dan sikap malu satu cabang dari iman.” HR. Muslim.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu dari pada wanita perawan dalam pingitannya.
Haya` (malu) secara bahasa (etimologi) berasa dari kata hayah (hidup). Dan istihyar rajul (seseorang merasa malu): karena kekuatan rasa malu padanya, karena ia sangat mengetahui posisi memalukan.. maka haya` dari kekuatan perasaan dan kelembutannya serta kekuatan hidup. Dan menurut kadar hidupnya hati ada padanya kekuatan akhlak malu.
Malu pada manusia  terdiri dari tiga macam: Pertama, sikap malunya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, sikap malunya terhadap manusia
Dan ketiga, sikap malunya terhadap dirinya sendiri.
Adapun malunya kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dengan menjunjung segala perintah-Nya dan menahan diri dari segala larangan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( استحيوا من الله حق الحياء قال: قلنا: يا رسول الله إنا نستحيي والحمد لله! قال: ليس ذاك  ولكن الاستحياء من الله حق الحياء أن تحفظ الرأس وما وعى  والبطن وما حوى  ولتذكر الموت والبلى  ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا  فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء ))  [أخرجه الترمذي].
Bersikap malu lah kamu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenar-benarnya. Ia berkata: kami menjawab: Ya Rasulullah, sesungguhnya kami merasa malu, dan segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau bersabda: ‘Bukan itu maksudnya, akan tetapi merasa malu terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenarnya adalah engkau menjaga kepala dan sekitarnya, perut dan yang meliputinya, hendaklah mengingat kematian dan kehancuran, dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat ia meninggalkan perhiasan dunia. Maka siapa yang melakukan hal itu berarti ia merasa malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenarnya.” HR. At-Tirmidzi.
Malu ini bersumber dari kekuatan agama dan kebenaran keyakinan.
Adapun sikap malunya dari manusia maka dengan tidak mengganggu dan tidak terang terangan melakukan keburukan. Jenis malu ini termasuk kesempurnaan muru`ah dan berhati-hati dari celaan.
Adapun malunya terhadap dirinya sendiri, maka adalah dengan sifat iffah (menahan diri dari yang dilarang) dan menjaga diri dalam kesendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الحياء لا يأتي إلا بخير ))
 ‘Sipat malu tidak datang kecuali dengan kebaikan.”
Dan beliau juga bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( الحياء خير كله )) . أو قال: ((الحياء كله خير ))
Sipat malu  adalah baik semuanya, atau beliau bersabda: semuanya adalah baik.” Maksudnya bahwa ia adalah sebab untuk menarik kebaikan kepadanya.
Dan beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما كان الحياء في شيء إلا زانه))
 “Tidak ada sikap malu pada sesuatu kecuali menghiasinya.’’Sabdanya ‘pada sesuatu” merupakan mubalaghah, maksudnya jikalau sikap malu ada pada benda padat niscaya menghiasinya, maka bagaimana dengan manusia?
Menutupi. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى : ﴿ يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ﴾ [ الأعراف: 26]
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi 'auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. al-A’raaf:26)
Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh manusia agar menutup semua aurat dan tubuh, karena Dia menyukai tertutup dan membenci telanjang, demikian pula Rasul-Nya menyuruh menutup dan memperhatikan menjaga aurat, melarang telanjang, seraya bersabda: ‘Jauhilah telanjang.”
Keempat belas: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai orang yang ridha dengan bala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن عظم الجزاء مع عظم البلاء وإن الله إذا أحب قومًا ابتلاهم فمن رضي فله الرضا ومن سخط فله السخط))
Sesungguhnya besarnya balasan disertai besarnya bala, dan apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai suatu kaum Dia memberi cobaan kepada mereka. Maka siapa yang ridha maka baginya ridha dan siapa yang marah maka baginya kemarahan.” HR. At-Tirmidzi.
Orang yang ridha dengan bala adalah hamba yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Dia mencobanya dengan berbagai cobaan dan musibah, lalu ia sabar, istirja` (mengembalikannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala) dan mengharapkan pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, serta ridha dengan cobaan yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, maka untuknya keridhaan dan pahala besar terhadap kadar musibahnya. Cobaan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman di dunia bukan karena murka-Nya kepadanya; akan tetapi bisa jadi untuk menolak yang dibenci atau menebus dosa-dosa-Nya, atau untuk meninggikan derajatnya.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ما من مسلم يصيبه أذى إلا حاتَّ الله عنه خطاياه  كما تحاتُّ ورق الشجر )) [أخرجه البخاري].
Tidak ada seorang muslim yang ditimpa rasa sakit kecuali Allah subhanahu wa ta’ala menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana berguguran daun pohon.” HR. Al-Bukhari.
Ini merupakan berita gembira besar bagi setiap mukmin, karena anak manusia biasanya tidak pernah terlepas dari rasa sakit disebabkan sakit atau duka cita atau semisal yang demikian itu.
Sabar terhadap bala adalah saat kejadian pertama, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إنما الصبر عند الصدمة الأولى))
 ‘Sesungguhnya sabar (yang sebenarnya) adalah saat kejadian pertama.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sabar yang berat terhadap jiwa dan yang besar pahalanya adalah saat pertama kali terjadi bala dan terkejut mendapat musibah, maka ia berserah diri (kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Hal itu menunjukkan kekuatan dan keteguhan hati dalam kedudukan sabar. Adapun bila panasnya musibah sudah dingin, maka setiap orang bisa sabar ketika itu.
Manusia di negeri (dunia)  ini selalu menghadapi bala, fitnah, cobaan dan ujian. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال تعالى : ﴿ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً  [ الأنبياء: 35]
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang sebenar-benarnya). (QS. Al-Anbiyaa`:35)
Hal itu adalah dengan berbagai musibah dan nikmat, susah dan senang, sehat dan sakit, kaya dan fakir, halal dan haram, taat dan maksiat, petunjuk dan sesat.
Tidak mudah mendapatkan martabat iman dengan kata-kata yang diucapkan dengan lisan, akan tetapi harus dicoba orang yang mengaku beriman, dan kebenaran hal itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ . وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴾ [ العنكبوت: 2-3]
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? * Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. al-Ankabuut:2-3)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ ﴾ [ محمد: 31]
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; (QS. Muhammad:31)
Dan sebab adanya cobaan adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى: ﴿ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ﴾ [ الملك: 2]
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Mulk:2)
Bala merupakan cobaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, apakah ia ridha atau tidak, apakah ia sabar atau keluh kesah, apakah ia bersyukur atau kufur?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita agar berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memohon pahala dan gantian kepada-Nya dengan yang lebih baik dari musibah yang telah terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من مسلم تصيبه مصيبة فيقول ما أمره الله: } إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  اللهم آجرني في مصيبتي واخلف لي خيرًا منها  إلا أخلف الله له خيرًا منها))
 “Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah, laluia membaca yang diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  اللهم آجرني في مصيبتي واخلف لي خيرًا منها
Sesungguhnya kita adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku dan gantikanlah untukku yang lebih bagi darinya.’ Melainkan Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan untuknya yang lebih baik darinya.”
Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bila kita melihat orang yang mendapat musibah agar kita memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas nikmat afiyat, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( من رأى مبتلى فقال: الحمد لله الذي عافاني مما ابتلاك به  وفضلني على كثير ممن خلق تفضيلاً  لم يصبه ذلك البلاء ))
 “Siapa yang melihat orang yang tertimpa musibah lalu ia membaca: ‘Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang menyelamatkan aku dari bala yang ditimpakan kepadamu dengannya, dan memberikan karunia kepadaku terhadap kebanyakan yang Dia ciptakan,’ niscaya bala itu tidak akan menimpanya.”HR. at-Tirmidzi.
Kelima belas: Allah subhanahu wa ta’ala menyukai yang baik dalam pekerjaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن الله تعالى يحب من العامل إذا عمل أن يحسن))
 “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai pekerja yang bila bekerja ia bekerja dengan baik.”
Baik dalam bekerja adalah ikhlas dan adil padanya, dan Allah subhanahu wa ta’ala menyukai dari hamba bila bekerja ia melaksanakan dengan baik dan menunaikan amanah sekadar kesungguhannya dan tidak meninggalkan ibadah kepada Rabb-nya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى : ﴿ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ ﴾ [ النور: 37]
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. an-Nur:37)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan perdagangan secara khusus karena ia merupakan penghalang terbesar dari segala ibadah, dan yang paling penting adalah shalat. Karena alasan inilah Dia subhanahu wa ta’ala memuji mereka yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dari beribadah. Dan tidak disangsikan bahwa mereka bagus dalam bekerja dan bisa menyelaraskan di antaranya dan di antara semua ibadah dan waktu-waktu shalat.
Keenam belas: dua tetasan dan dua bekas paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ليس شيء أحب إلى الله من قطرتين وأثرين قطرة من دموع في خشية الله  وقطره دم تهراق في سبيل الله  وأما الأثران: فأثر في سبيل الله  وأثر في فريضةٍ من فرائض الله)) [أخرجه الترمذي].
Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dari dua tetesan dan dua bekas: tetasan air mata karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tetasan darah yang tumpah dalam jihad fi sabilillah. Adapun dua bekas: bekas fi sabilillah dan bekas pada kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah subhanahu wa ta’ala. HR. At-Tirmidzi.
Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dari pada tetasan air mata yang tumpah dari mata karena sangat takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka mata ini tidak disentuh oleh api neraka. Bahkan, pemilik mata yang menangis karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan mendapat naungan di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله.. ورجل ذكر الله خاليًا ففاضت عيناه)) [أخرجه البخاري].
Tujuh golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala menaungi mereka di bawah naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya...dan laki-laki yang berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala secara sembunyi maka menangis kedua matanya.” HR. Al-Bukhari.
Dan Allah subhanahu wa ta’ala memuji para Nabi ‘alaihimu shalatu wa salam yang Allah subhanahu wa ta’ala memberi nikmat kepada mereka bahwa bila mereka mendengar ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka sujud dan dan menangis. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال ا لله تعالى : ﴿ إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
[ مريم: 58]
Apabila dibacakan ayt-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS. Maryam:58)
Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu membaca surah Maryam lalu ia sujud dan ia berkata: ‘Ini sujud, maka di manakah tangis? Ia ingin menangis.
Allah subhanahu wa ta’ala memuji orang-orang yang diberi ilmu bahwa bila dibacakan kepada mereka , sebagaimana digambarkan Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ﴾ [ الإسراء: 109]
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'. (QS. al-Isra`:109)
Demikian pula tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dari bekas dalam menunaikan kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah subhanahu wa ta’ala, seperti orang yang berjalan menyusahkan dirinya dalam menunaikan kewajiban, melaksanakannya dan bersusah payahnya padanya, seperti tumit pecah karena dinginnya air wudhu atau bau mulutnya dalam puasa, atau berdebu tumitnya dalam Jum’at dan haji.
Dari Abayah bin Rifaya, ia berkata: Abu ‘Abas bertemu denganku dan aku sedang pergi ke masjid, ia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من اغبرت قدماه في سبيل الله  حرمه الله على النار)) [أخرجه البخاري]
“Siapa yang kakinya berdebu fi sabilillah niscaya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkannya terhadap neraka.” HR. Al-Bukhari.  Dan maksud sabdanya: fi sabilillah: semua taat.
Inilah yang bisa dikumpulkan dari ibadah-ibadah yang paling dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, namun amal-amal shalih yang memiliki keutamaan khusus dan dicintai di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sangat banyak, tidak mungkin dikumpulkan di sisi.
Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala aku memohon agar memberi taufik kepada kita semua untuk mengerjakan amal yang paling dicintai-Nya, dan menyudahi kita dengan ridha-Nya.
Dan segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala Rabb semesta alam.

Tidak ada komentar