Adab Berpakain

Adab Berpakain
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Ketokohan profil ini tidak diragukan lagi. Ia sangat meyakinkan, reputasinya tak perlu dipertanyakan. Banyak ayat Al-Qur`an yang membicarakan keutamaan beliau, baik secara pribadi maupun dalam konteks umum.
Pakaian merupakan salah satu nikmat terbesar yang di anugerahkan kepada para hamba, diantara sekian banyak nikmat Allah Shuhanahu wa ta’alla yang ada. Yang berfungsi sebagai alat untuk menutup aurat, menahan tubuh dari panas dan dingin serta penangkal kerusakan lainnya. Dan telah datang penjelasan didalam dalil-dalil syar'iyah yang menerangkan tentang hukum-hukum berpakain secara rinci dan jelas, disamping itu, syari'at juga telah menjelaskan batasan wajib ukuran berpakaian yang dikatakan telah menutupi aurat. Juga menjelaskan mana saja perkara yang sunah maupun haram, makruh dan mubah dalam berpakaian, baik dari segi jenis, batasan maupun ukurannya.
Dan para ulama kita telah menyebutkan adab dan etika berpakaian dalam buku-buku mereka yang disertai dengan dalil yang membikin hati semakin tentram. Dan diantara adab dan etika tersebut ialah:
1.         Wajib menutup Aurat.
Dan yang dimaksud dengan aurat ialah anggota tubuh yang wajib ditutupi, yang mana pemiliknya akan merasa malu bila tersingkap atau terbuka. Dalilnya adalah firman Allah tabaraka wa ta'ala:

قال الله تعالى: ﴿ يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ ٢٦ [الأعراف: 26  
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan". (QS al-A'raaf: 26).

Dengan ayat ini, maka menutup aurat dengan pakaian adalah perkara wajib. Sedangkan batasan aurat bagi laki-laki dewasa ialah mulai dari pusar sampa lutut. Berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad didalam musnadnya dari Jarhad radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah lewat di hadapannya dan ketika itu pahanya terbuka, maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا جَرْهَدُ! غَطِّ فَخِذَكَ, فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ » [أخرجه أحمد]
"Wahai Jarhad! Tutupi pahamu, sesungguhnya paha termasuk aurat". HR Ahmad 25/280 no: 15932.

Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'laq (tanpa disertai sanda), Imam Malik dan juga Tirmidzi, dengan sanad hasan karena terkumpul banyak penguat.
Imam Bukhari berkomentar seusai menyebutkan perbedaan pendapat tentang masalah ini, "Haditsnya Jarhad lebih kuat". [1] Adapun aurat bagi perempuan, maka dalam hal ini telah datang penjelasan dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « المرأة عورة » [أخرجه الترمذي]
"Wanita adalah aurat". HR at-Tirmidzi no: 1173. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Misykah 2/933 no: 3109.

Dan telah lewat penjelasan secara rinci yang berkaitan tentang pakaian wanita.
2.         Hendaknya tebal dan tidak transparan sehingga menampakan aurat atau warna kulit dan lekuk tubuh, dan ini berlaku baik pakaian laki maupun wanita.
Ibnu Tamim menjelaskan, "Dibenci pakaian yang transparan apabila sampai menggambarkan anggota badan". Imam al-Marwadzi menceritakan, "Aku pernah disuruh oleh beberapa orang tatkala aku sedang berada dirumahnya Abu Abdillah yakni Imam Ahmad, untuk membeli sebuah pakaian untuk mereka. Maka Imam Ahmad berpesan, "Jangan beli pakaian yang tipis karena aku membenci pakaian yang transaparan baik untuk mayit maupun orang yang masih hidup. Sesungguhnya paha adalah aurat".[2]
3.         Tidak menyerupai pakaian wanita bagi laki-laki demikian pula tidak menyerupai pakaian laki-laki bagi wanita.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, berkata, "Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menyerupai wanita dari kalangan pria dan orang-orang yang menyerupai pria dari kalangan wanita". HR Bukhari no: 5885.
4.         Tidak boleh isbal (melebihi mata kaki) bagi laki-laki. Dan larangan ini mencakup pakaian yang berupa jubah, sarung, celana maupun gamis.
Hal itu, berdasar sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة » [أخرجه أبو داود]
"Melebihkan pakaian dibawah mata kaki itu bisa berupa jubah, atau gamis atau sorban. Barangsiapa yang menarik pakaiannya dalam keadaan sombong maka Allah tidak akan melihatnya sama sekali kelak pada hari kiamat". HR Abu Dawud no:4094. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 2/771 no: 3450.

Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad didalam musnadnya dari Jabir radhiyallahu 'anhu, secara marfu', bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ » [أخرجه أحمد]
"Hati-hatilah engkau dari memanjangkan jubah karena memanjangkan jubah (sampai dibawah mata kaki) termasuk dari kesombongan dan Allah tidak menyukai orang yang sombong". HR Ahmad 34/238 no: 20635.
Dan tekstual dalam hadits diatas menjelaskan pada kita bahwa hanya sekedar memanjangkan pakaian dibawah mata kaki itu sudah termasuk dalam kategori sombong biarpun orang yang memakainya tidak mempunyai maksud ke arah sana.
Dalam hal ini, telah datang ancaman yang sangat keras bagi siapa pun orangnya yang berpakaian melebihi kedua mata kaki. Seperti dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ » [أخرجه البخاري]
"Segala sesuatu (dari) pakaian yang berada dibawah kedua mata kaki maka tempatnya didalam neraka". HR Bukhari no: 5787.
 
5.         Haram memakai pakaian yang ada gambar salib atau bergambar makhluk hidup.
Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa beliau pernah membeli sarung bantal yang ada gambarnya, maka tatkala Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung berdiri didepan pintu tidak mau masuk ke dalam rumah. Maka aku paham dari raut mukanya yang tidak senang dengan sarung bantal tersebut.
Kemudian Aisyah berkata, "Wahai Rasulallah, aku bertaubat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya, apa salahku? Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Untuk apa sarung bantal tersebut? Aisyah menjawab, "Aku membelinya untukmu sebagai alas bantal dan tempat duduk". Lalu Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Sesungguhnya orang-orang yang melukis gambar ini kelak akan diadzab pada hari kiamat, dan dikatakan pada mereka, "Hidupkan apa yang telah kalian gambar! Dan beliau bersabda: "Sesungguhnya rumah yang ada gambar didalamnya tidak akan dimasuki oleh para malaikat". HR Bukhari no: 5961, Muslim no: 2107.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Imran bin Hithan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan sedikitpun didalam rumah suatu benda yang berupa salib melainkan beliau menghancurkannya. Al-Hajawi mengomentari hadits diatas, "Apabila memasang dan menggantung (tirai yang bergambar) ditembok sebagai tirai saja dilarang, maka larangan untuk dijadikan pakaian itu lebih utama, karena ketika dijadikan pakaian ada bentuk pemuliaan didalamnya. Inilah salah satu sisi keharaman (dalam masalah ini)".[3]
6.         Haram memakai pakaian Syuhrah (popularitas).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَة » [أخرجه أحمد]
"Barang siapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat". HR Ahmad 9/476 no: 5664.

Al-Hajawi menerangkan, "Hal itu, disebabkan karena akan membikin si pelaku tercela dan akan mengurangi muru'ahnya. Dan didalam pakaian mahal yang dihindari ialah seluruh pakaian yang menjadikan bila dipakai membikin dirinya terkenal dikalangan manusia, seperti pakaian yang menyelisihi adat suatu negeri dan keluarga pada umumnya.
Oleh karena itu, hendaknya ia memakai pakaian yang biasa dikenakan oleh umumnya masyarakat, agar dirinya tidak ditunjuk dengan jari telunjuk sama orang lain karena aneh sendiri, sehingga menyebabkan mereka menghibah dan membicarakan tentang dirinya, maka dirinya ikut mendapat  bagian dosa ghibahnya mereka". [4]
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beliau menjelaskan, "Dibenci pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang keluar dari pakaian orang pada umumnya baik itu karena harganya yang sangat mahal maupun model pakaian yang terlalu jelek. Sesungguhnya ulama salaf mereka membenci dua pakaian syuhrah seperti tadi, terlalu mahal dan terlalu jelek modelnya".[5] Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Seperti dikatakan, "Setiap makanan yang engkau sukai silahkan makan, (namun) pakailah pakaian yang biasa dikenakan oleh orang banyak".[6]
Seorang penyair mengatakan dalam lantunan bait syairnya:

Jikalau engkau dilempari pandangan semenjak keluar
      Sadarilah, karena engkau sedang mengenakan pakaian syuhrah
Adapun makanan maka makanlah sesuai seleramu
          Dan jadikan pakaianmu sesuai selera orang lain

7.         Haram bila ada udzur. memakai pakaian yang terbuat dari sutera dan memakai emas bagi laki-laki kecuali
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil kain sutera lalu memegang dengan tangan kanannya, lalu mengambil emas dan memegang dengan tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِيٍ » [أخرجه أبو داود]
"Sesungguhnya dua (benda) ini haram bagi kaum lelaki dari kalangan umatku". HR Abu Dawud no: 4057. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud no: 3422.

8.         Diantara perkara sunah dalam berpakaian ialah memulai dari sisi kanan terlebih dahulu.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, "Adalah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai untuk melakukan segala pekerjaan dengan sebelah kanan baik dalam bersuci, menyisir rambut maupun memakai sendal". HR Bukhari no: 5845. Muslim no: 268.
Imam Nawawi mengatakan, "Ini merupakan kaidah dalam syari'at yang terus dipakai, yaitu apabila masuk kategori yang mulia dan terhormat, seperti mengenakan pakaian, celana, sendal dan lain sebagainya yang semakna dengannya, maka disunahkan untuk memulainya dengan bagian kanan terlebih dahulu karena kehormatan serta kemuliaan sisi anggota badan yang sebelah kanan".[7]
9.         Disunahkan ketika memakai pakaian baru untuk membaca do'a yang telah dijelaskan dalam masalah itu.
Yaitu membaca do'a yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «  اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ » [أخرجه الترمذي]
"Ya Allah, segala puji bagi -Mu, Engkau telah mengarunai pakaian ini kepadaku. Aku memohon kepada -Mu kebaikan dari pakaian ini dan kebaikan dari tujuan pakaian ini dibuat. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan pakaian ini dan keburukan dari tujuan pakaian ini dibuat". HR at-Tirmidzi no: 1767.Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi no: 1446.

10.     Disunahkan untuk mengenakan pakaian yang berwarna putih.
Berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ » [أخرجه أبو داود ]
"Kenakanlah oleh kalian pakaian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian terbaik untuk kalian, dan kafanilah dengan warna putih mayat-mayat kalian". HR Abu Dawud no: 4061. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 2/766 no: 3426.

11.     Dilarang mengenakan pakaian yang dicelup dengan warna kekuning-kuningan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku mengenakan dua pakaian yang berwarna kekuning-kuningan, lalu beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا » [أخرجه مسلم]
"Sesungguhnya ini termasuk dari pakaian kafir janganlah engkau memakainya". HR Muslim no: 2077.

Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, setelah menyebutkan ucapannya para ulama tentang pakaian yang berwarna merah, beliau menegaskan, "Yang sesuai dalam masalah ini ialah bahwa larangan untuk mengenakan pakaian yang berwarna merah kalau sekiranya itu merupakan pakaian yang biasa dikenakan oleh orang kafir, maka pendapat dalam hal ini persis seperti pendapat tentang masalah larangan memakai pakaian warna merah. Dan apabila yang dimaksud adalah pakaian wanita maka ini kembali pada larangan menyerupai kaum wanita, maka larangannya ada pada tasyabuh bukan pada jenis pakaiannya.
Dan jika tujuannya adalah untuk popularitas atau menyimpang dari muru'ah maka hal itu terlarang kapanpun terjadinya. Walaupun dalam hal ini pendapat yang dipegang oleh Imam Malik itu lebih kuat yang membedakan antara kondisi didalam rumah dan ketika dikenakan dalam kumpulan banyak orang".[8]
12.     Dianjurkan untuk menampakkan nikmat yang diperoleh dalam berpakaian maupun yang lainnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Abul Ahwash dari bapaknya radhiyallahu 'anhu, dirinya berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan pakaian kumal, maka beliau bertanya, "Bukankah engkau punya harta? Ia, jawabku. Beliau kembali bertanya, "Harta apa yang engkau miliki? Aku menjawab, "Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memberiku onta, kambing, kuda dan budak". Maka beliau bersabda.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فإذا آتاك الله مالا فلير أثر نعمة الله عليك وكرامته » [أخرجه أبو داود]
"Apabila Allah telah memberimu harta maka perlihatkan (pada orang) bekas nikmat dan karunia Allah yang diberikan padamu". HR Abu Dawud no: 4063. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud no: 3428.


13.     Memakai minyak wangi.
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai minyak wangi, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Nasa'i dari Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ » [أخرجه النسائي]
"Dijadikan kecintaan pada diriku dari perkara dunia, wanita dan minyak wangi". HR an-Nasa'i no: 3939. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan an-Nasa'i no: 3680.

          Dan beliau tidak pernah menolak bila diberi minyak wangi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhari no: 2582.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.








[1] . Fathul Bari 1/478.
[2] . Syarh Mandhumatul Adaab Syar'iyah oleh al-Hajawi hal: 437.
[3] . Syarh Mandhumatul Adaab Syar'iyah hal: 440-441.
[4] . Syarh Mandhumatul Adaab Syar'iyah hal: 432.
[5] . Majmu' Fatawa 22/138.
[6] . Syarh Mandhumatul Adaab Syar'iyah hal: 433.
[7] . Syarh Shahih Muslim 1/160.
[8] . Fathul Bari 10/306.

Tidak ada komentar