Larangan Ihram

Larangan Ihram
       Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusanNya. Amma ba'du:
     Barangsiapa yang ingin menunaikan ibadah umrah maupun haji maka wajib bagi dirinya untuk menjauhi larangan-larangan ihram. Yaitu perkara-perkara yang tidak boleh dilakukan manakala dirinya telah masuk manasik, berniat untuk mengerjakan rangkaian ibadah haji maupun umrah. Diantara larangan-larangan tersebut adalah:

  1. Mencabut rambut dari kepala, baik dengan cara mencukur atau dengan cara lainya.
           
        Dan masuk dalam kategori ini, sebagaimana di terangkan oleh para ulama adalah mencabut seluruh rambut yang ada di badan karena hal tersebut termasuk bagian dari sarana bersenang-senang (berdandan). Diantara dalil yang melarang hal tersebut ialah firman Allah ta'ala:

﴿ وَلَا تَحۡلِقُواْ رُءُوسَكُمۡ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ ٱلۡهَدۡيُ مَحِلَّهُۥۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ بِهِۦٓ أَذٗى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ١٩٦ ﴾ [ البقرة : 196 ]

"Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban".  (QS al-Baqarah: 196).

         Adapun rambut jenggot maka haram mencukurnya, baik dalam keadaan ihram maupun dalam kondisi lainya, berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu  Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau mengatakan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ  وَأَوْفُوا اللِّحَى » [أخرجه البخاري و مسلم]

"Selesihilah oleh kalian orang-orang musyrik (dengan) memendekkan kumis dan memanjangkan jenggot". HR Bukhari no: 5893. Muslim no: 259.


  1. Memotong kuku.

         Di nyatakan oleh Ibnu Mundzir dalam bukunya al-Ijma': "Para ulama telah bersepakat kalau muhrim (orang yang sedang berihram) dilarang untuk mengambil kukunya". [1]
         Al-Hafidh Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya tatkala menafsirkan firman Allah ta'ala:

﴿ ثُمَّ لۡيَقۡضُواْ تَفَثَهُمۡ ٢٩ ﴾ [ الحج: 29 ]

"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka". (QS al-Hajj: 29).

        Beliau mengatakan: "Berkata Ibnu Abbas: "Yang dimaksud menghilangkan kotoran di sini ialah seorang yang sedang ihram dari memotong rambut, memakai pakaian yang berjahit, mengerat kuku, dan sebagainya".[2] Kemudian para ulama memasukan dalam kategori memangkas rambut segala perkara yang mengantarkan pada perbuatan bermewah-mewahan.

  1. Memakai minyak wangi setelah berniat masuk manasik.

        Maka seorang yang sedang berihram dilarang untuk memakai minyak wangi baik dibadan maupun baju ihramnya. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, diantara perkara yang dilarang bagi seorang yang sedang ihram yaitu memakai pakaian, kemudian Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَلَا تَلْبَسُوا مِنْ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ » [أخرجه البخاري ومسلم]

"Janganlah kalian memakai sedikitpun za'faran dan minyak wangi di pakaian ihram kalian". HR Bukhari no: 1542. Muslim no: 1177.

        Dan juga berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang menjelaskan bahwa ada seorang sahabat yang bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam lalu dirinya terlempar jatuh dari hewan tunggangannya kemudian meninggal disaat dia dalam kondisi berihram. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentangnya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا » [أخرجه البخاري و مسلم]

"Mandikanlah jenazahnya dengan air dan daun bidara, kemudian kafani dengan bajunya, dan jangan kalian beri minyak wangi, jangan pula kalian tutupi kepalanya, sesungguhnya dia akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah". HR Bukhari no: 1851, Muslim no: 1206.

       Maka hadits-hadits ini menyimpulkan dengan jelas kalau seorang yang sedang berihram dilarang untuk memakai minyak wangi tatkala sedang berihram karena hal itu termasuk sarana untuk bermewah-mewah.
       Namun, dirinya masih dibolehkan memakai minyak wangi sebelum berihram tapi di badan bukan dipakaian ihramnya. Dan tidak mengapa kalau minyak tersebut masih menempel setelah ihramnya. Karena masuk dalam dalam kaidah: "Tidak boleh jika dilakukan untuk pertama kalinya akan tetapi boleh bila menyisakan bekas dari pekerjaan yang pertama tadi".
     Dan yang mendasari hal itu ialah haditsnya Aisyah radhiyallahu 'anha, di mana beliau mengatakan: "Aku mengolesi minyak wangi pada Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam tatkala beliau akan ihram yaitu ketika berpakain ihram, setelah tahalul (dan) sebelum melakukan thawaf (ifadhah) di Ka'bah". HR Bukharin no: 1538. Muslim no: 1189.

      Demikian juga didukung oleh hadits lain, yang masih dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah beliau menceritakan: "Seakan-akan aku melihat pada sisa minyak wangi yang berkilauan di belahan rambut Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sedangkan waktu itu beliau sedang berihram". HR Bukhari no: 271. Muslim no: 1190.

  1. Menutup kepala dan wajah dengan sesuatu yang langsung menempel pada wajahnya.

     Berdasarkan hadits dahulu yang melarang seorang muhrim untuk memakai pakaian, dimana Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ » [أخرجه البخاري و مسلم]

"Dan (ia) tidak boleh memakai kemeja dan imamah (serban)". HR Bukhari no: 1542. Muslim no: 1117.

      Dan juga berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, tentang kisahnya seorang sahabat yang jatuh dari ontanya lalu meninggal dalam kondisi berihram. Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
  
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُحَنِّطُوهُ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا » [أخرجه البخاري و مسلم]

"Mandikanlah jenazahnya dengan air dan daun bidara, kemudian kafani dengan bajunya, dan jangan kalian beri minyak wangi, jangan pula kalian tutupi kepalanya, sesungguhnya dia akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah". HR Bukhari no: 1851, Muslim no: 1206.

      Adapun berteduh dengan sesuatu yang tidak menempel langsung di kepala, seperti memakai payung, berteduh di dalam atau bawah mobil, dalam kemah, atau yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa.
      Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim. Bahwa Usamah bin Zaid dan Bilal radhiyallahu 'anhuma. Keduanya pernah bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam manakala melempar jumrah Aqabah, kemudian salah seorang diantara mereka berdua mengambil tali kekang ontanya dan satunya mengangkat pakaian untuk menutupi dari panas matahari sampai dirinya selesai melempar jumrah Aqabah. HR Muslim no: 1298.
       Demikian pula haditsnya Jabir radhiyallahu 'anhu yang menjelaskan sifat hajinya Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, yang mana disitu dijelaskan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam turun di kubah (kemah) yang sudah dibuatkan untuk beliau di Namirah  sampai matahari condong". HR Muslim no: 1218.

  1. Memakai pakaian yang berjahit.

       Dan ini khusus bagi laki-laki, maka ia tidak boleh untuk memakai pakaian yang berjahit yang membentuk tubuh, seperti kemeja atau celana, dan masuk dalam hal ini sepatu dan kaos kaki. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا السَّرَاوِيلَ » [أخرجه البخاري ومسلم]

"Tidak boleh seorang yang sedang berihram memakai gamis, serban tidak pula memakai burnus (pakaian yang menutup kepala) dan celana panjang". HR Bukhari no: 134. Muslim no: 1177.

         Kecuali memang benar-henar dalam kondisi tidak menjumpai kain ihram, maka boleh bagi dirinya untuk memakai celana, demikian pula bagi yang tidak mendapati sendal maka boleh baginya untuk memakai sepatu tanpa harus memotongnya. Berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, sebagaimana telah tetap didalam shahih Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الخُفَّيْنِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ السَرَاوِيلَ » [أخرجه البخاري ومسلم]

"Barangsiapa tidak mendapati sendal maka tidak mengapa dia memakai sepatu. Dan barangsiapa tidak menjumpai kain (pakain ihram) maka boleh baginya memakai sarung". HR Bukhari no: 5852. Muslim no: 1177.

       Dan bagi wanita, haram baginya memakai sesuatu yang berjahit untuk menutupi wajahnya seperti Burqa' atau cadar demikian pula tidak boleh memakai penutup kedua tangan seperti sarung tangan, berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ » [أخرجه البخاري]

"Seorang wanita yang sedang ihram tidak boleh baginya memakai cadar tidak pula memakai sarung tangan". HR Bukhari no: 1838.

       Yang dimaksud dengan al-Qufazain ialah sesuatu yang terbuat dari kain atau wol kemudian dijahit membentuk kedua tangan (sarung tangan.pent).
       Dan dibolehkan baginya untuk memakai yang berjahit selain kedua hal tersebut, seperti halnya memakai baju, celana, sepatu, kaos kaki, serta yang semisal dengannya.
      Demikian pula dibolehkan untuknya menurunkan tutup kepala ke wajah jika diperlukan tanpa mengikatnya, dan jika penutup tersebut menempel diwajahnya maka tidak mengapa. Berdasarkan haditsnya Fatimah binti Mundzir beliau berkata: "Kami menurunkan kain penutup kepala kewajah-wajah kami sedangkan waktu itu kami dalam keadaan berihram, dan kami saat itu bersama Asma binti Abi Bakar ash-Shidiq". HR Malik dalam Muwatha hal: 213 no: 978. hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam mustadraknya 2/104 no: 1711. Beliau mengatakan shahih dan disepakati oleh adz-Dzhahabi.

  1. Membunuh buruan binatang darat.

Hal itu berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:

 ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَقۡتُلُواْ ٱلصَّيۡدَ وَأَنتُمۡ حُرُمٞۚ ٩٥ ﴾ [ المائدة: 95 ]

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram". (QS al-Maaidah: 95).

Demikian pula firmanNya Allah ta'ala:

﴿ وَحُرِّمَ عَلَيۡكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَرِّ مَا دُمۡتُمۡ حُرُمٗاۗ ٩٦ ﴾ [ المائدة: 96]

"Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram".  (QS al-Maaidah: 96).

Dan berdasarkan firman Allah ta'ala yang lain:

﴿ غَيۡرَ مُحِلِّي ٱلصَّيۡدِ وَأَنتُمۡ حُرُمٌۗ ١ ﴾ [ المائدة: 1 ]

"(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji".  (QS al-Maaidah: 1).

Dan juga firman Allah ta'ala:

﴿ وَإِذَا حَلَلۡتُمۡ فَٱصۡطَادُواْۚ ٢ ﴾ [ المائدة: 2 ]

"Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu".  (QS al-Maaidah: 2).

      Ayat-ayat di atas tadi, semuanya menunjukan bahwa seorang muhrim, semenjak niat masuk manasik sampai dirinya selesai, maka tidak boleh baginya untuk berburu binatang darat,  begitu pula tidak boleh membantu dalam proses berburu, baik dengan ikut langsung atau hanya sekedar menunjukan tempatnya, pada orang yang tidak berihram.
        Hal itu, didasari dengan haditsnya Abu Qatadah, yang mana diceritakan bahwasannya beliau sedang bersama beberapa para sahabat dalam perjalanan, ketika itu mereka sedang berihram, dan cuma dia seorang yang tidak.
     Selanjutnya mereka melihat ada keledai liar, maka Abu Qatadah berhasil menangkapnya lantas beliau menyembelih dan memasaknya, lalu menghidangkan pada mereka. Kemudian mereka pun memakannya. Lalu ada seseorang yang berkata: "Apakah kita memakan daging buruan sedang kita masih dalam keadaan ihram?
       Kemudian kami bawa sisa daging hewan buruan tadi menghadap Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمِنْكُمْ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنْ يَحْمِلَ عَلَيْهَا أَوْ أَشَارَ إِلَيْهَا قَالُوا لَا قَالَ فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنْ لَحْمِهَا » [أخرجه البخاري ومسلم]

"Apakah ada salah seorang diantara kalian yang menyuruhnya atau ikut mengejar atau menunjukan tempatnya? Mereka menjawab: "Tidak". Beliau melanjutkan: "Kalau demikian makanlah yang masih tersisa dari dagingnya". HR Bukhari no: 1824. Muslim no: 1196.

  1. Menikah atau melamar.

       Tidak boleh bagi seorang yang sedang ihram untuk menikah tidak pula menikahkan orang lain, baik sebagai wali maupun mewakilinya. Begitu pula tidak boleh melamar seorang wanita. Berdasarkan dengan hadits shahih dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ » [أخرجه مسلم]

"Seorang yang sedang ihram tidak boleh menikah tidak pula menikahkan untuk orang lain atau melamar". HR Muslim no: 1409.

  1. Berhubungan badan yang mewajibkan mandi besar.

Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:

﴿ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلۡحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي ٱلۡحَجِّۗ ١٩٧
[ البقرة: 197 ]

"Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji".  (QS al-Baqarah: 197).

       Yang dimaksud dengan ar-Rafats dalam ayat diatas ialah hubungan badan sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ta'ala yang lainnya:

﴿ أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ ١٨٧ ﴾ [ البقرة: 187 ]

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu".  (QS al-Baqarah: 187).
       Maka barangsiapa melakukan hubungan badan bersama istri atau suaminya secara sengaja sebelum tahalul awal maka ibadah haji atau umrahnya rusak.

  1. Bercumbu selain dari pada hubungan badan sebelum tahalul yang pertama dengan berciuman atau yang lainnya.

       Namun, dalam kondisi ini tidak sampai menjadikan manasik hajinya rusak, akan tetapi, dirinya telah melanggar larangan ihram dan wajib bagi dirinya bertaubat dan istighfar, dan sebagian ulama mewajibkan untuknya membayar fidyah.

Kaidah penting:

        Barangsiapa mengerjakan salah satu dari larangan-larangan ihram tadi, maka keadaanya tidak terlepas pada tiga kondisi:

Pertama: Dirinya melakukan larangan ihram karena tidak ada keperluan dan udzur, maka dalam hal ini dirinya berdosa dan wajib ia membayar fidyah.
Kedua: Dirinya mengerjakan larangan ihram karena ada keperluan yang mengharuskan hal tersebut, maka dalam hal ini wajib baginya membayar fidyah dan tidak berdosa.
Hal tersebut berdasarkan firman Allah ta'ala:

﴿ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ بِهِۦٓ أَذٗى مِّن رَّأۡسِهِۦ فَفِدۡيَةٞ مِّن صِيَامٍ أَوۡ صَدَقَةٍ أَوۡ نُسُكٖۚ ١٩٦ ﴾ [ البقرة: 196 ]

"Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban".  (QS al-Baqarah: 196).

      Demikian pula berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ka'ab bin U'jrah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam melihat pada wajah beliau kutu yang berjatuhan diwajahnya. Maka beliau bertanya: "Apakah hewan-hewan ini menyakitimu? Ia, jawabnya. Maka Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh supaya dirinya bercukur ketika sampai di Hudaibiyah. Dan ketika itu para sahabat belum merasa bertahalul, sedangkan mereka begitu rindu ingin masuk Makkah dan melakukan manasik.
       Maka Allah ta'ala menurunkan ayat yang berkaitan tentang fidyah, kemudian Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh dirinya untuk memberi makan enam orang fakir miskin atau menyembelih kambing, atau berpuasa selama tiga hari".  HR  Bukhari no: 1817. Muslim no: 1201.

Ketiga: Dirinya melakukan larangan ihram. Ada kemungkinan karena tidak tahu atau lupa atau terpaksa, maka dalam kondisi seperti ini dia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

﴿ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ ٢٨٦﴾ [ البقرة: 286 ]

"(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah". (QS al-Baqarah: 286).

 Dan dalam sebuah hadits Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه » [أخرجه ابن ماجه]

"Sesungguhnya Allah mengangkat (dosa) atas umatku, perbuatan (karena) salah, lupa dan yang mereka terpaksa melakukannya". HR Ibnu Majah no: 2045, Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibni Majah 1/248 no: 1664.

        Akan tetapi apabila udzur ini hilang dan dirinya mengetahui bahwa hal tersebut adalah dilarang, atau di ingatkan oleh orang lain, atau sudah tidak ada paksaan lagi atau terbangun dari tidurnya maka dirinya wajib segera meninggalkan larangan ihram tersebut.
      Adapun empat sisa dari larangan ihram yang lainnya maka hal ini berbeda sesuai dengan kondisi dan waktu, dan hendaknya dilihat dalam buku-buku fikih yang membahas perkara tersebut secara rinci.[3]
       Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.






[1] . al-Ijma' hal: 57.
[2] . Tafsir Ibnu Katsir 10/48.
[3] . Daftar Pustaka: at-Tahqiq wal Idhaah Syaikh Ibnu Baz hal: 33-39. Shifatul Hajj Syaikh Ibnu Utsaimin hal: 33-37. Tabshirun Nasik bii Ihkamil Manasik Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hal: 49-65. Al-Umrah wal Hajj wa Ziyarah Syaikh Sa'id al-Qahthani hal: 80-91. Kaifa Yahujul Muslim wa Ya'tamir Syaikh Abdullah ath-Thayar hal: 42-45.

Tidak ada komentar