Dr. Abdul Karim Germanus (Guru Besar Orientalis Asal Hongaria)

Dr. Abdul Karim Germanus (Guru Besar Orientalis Asal Hongaria) Dr. Abdul Karim Germanus adalah seorang terkenal dari Honggaria, dan orientalis saintis terkenal di dunia. Beliau datang di India antara perang dunia pertama dan kedua dan beberapa waktu lamanya memberi kuliah di Tagor's University Shanty Naketan. Akhirnya beliau memberi kuliah pada Jamia Millie Delhi dan disanalah beliau masuk Islam. Dr. Abdul Karim Germanus juga seorang ahli bahasa dan mengusai bahasa tueki dan kesusteraanya. Melalui penyelidikan-penyelidikan ketimurannya itulah beliau akhirnya masuk Islam. Dr. Abdul Karim Germanus juga bekerja sebagai professor dan kepala bagian ketimuran dan ilmu-ilmu keislaman pada Budapest University, Honggaria.

Sore itu turun hujan. Usia saya menjelang akil balig, ketika saya membolak balik lembaran-lembaran majalah bergambar terbitan lama. Isinya bermacam-macam, antara kejadian baru, cerita fiktif dan berbagai keterangan tentang negeri jauh. Saya terus membolak-balik halaman, tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah gambar ukiran kayu berbentuk rumah beratap datar, dan di sana sini terdapat kubah-kubah bundar yang menjulang ke langit yang gelap gulita, di mana secercah cahaya nampak dengan indahnya. Di atas salah satu atap itu terlihat beberapa orang duduk dalam barisan yang teratur, megenakan pakaian yang indah coraknya.

Gambaritu telah menangkap daya khayal saya, karena keadaanya berbeda dengan yang biasa kita lihat di Eropa, sebuah pemandangan di tanah timur, di sebuah tempat di negeri Arab yang menggambarkan seseorang yang sedang menceritakan beberapa hikayat yang menarik bagi sekumpulan pendengar yang mengenakan jubah berkurudung. Gambar itu seakan-akan berbicara, hingga saya seakan-akan mendengar suara seorang laki-laki yang menghibur diri saya dengan ceritanya, dan saya seakan-akan termasuk salah seorang dari orang Arab yang mendengarkan di atas bangunan itu. Padahal saya pelajar yang belum melebihi umur16 tahun dan sedang duduk diatas kursi Honggaria. Saya sangat berhasrat untuk mengetahui arti cahaya yang memecah kegelapan di atas papan ukiran itu.

Mulailah saya belajar belajar bahasa Turki. Namun, ternyata bahasa Turki tertulis itu hanya mencakup sedikit kata-kata Turki. Syair Turki penuh dengan bunga-bunga bahasa Parsi, sedangkan prosesnya terdiri dari unsur bahasa Arab. Oleh karena itu, saya berusaha memahami ketiga bahasa itu sehingga saya mampu menyelami dunia kerohanian yang telah memancarkan cahaya yang gemerlapan di atas persada alam kemanusiaan.

Pada waktu liburan musim panas, saya pergi ke Bosnia, suatu negeri Timur yag terdekat dari negeri saya. Saya tinggal di sebuah hotel. Dari sana saya dapat pergi untuk menyaksikan kenyataan hidup kaum muslimin di negeri itu. Bahasa Turki mereka menyulitkan saya, karena saya mulai mengetahuinya dari celah-celah tulisan Arab dalam kitab-kitab ilmu nahwu(Grammar).

Pada suatu malam, saya turun ke jalan-jalan yang diterangi lampu remang- remang. Saya lalu sampai di sebuah warung kopi sederhana, di mana dua orang pribumi sedang duduk-duduk di atas kursi yang agak tinggi sambil memegang kayf. Kedua orang itu mengenakan celana adat yang agak lebar dan di tengahnya diikat dengan sebuah sabuk lebar yang diselipi sebuah golok, sehingga dengan pakaian yang aneh seperti itu mereka tampak galak dan kasar. Dengan hati yang berdebar-debar saya masuk di dalam "Kahwekhame" itu dan duduk bersandar dalam si sudut ruangan. Kedua orang itu melihat kepada saya dengan pandangan yang aneh. Ketika itu terlihatlah kepada saya cerita-cerita pertumpahan darah yanga saya baca dalam buku yang berisi kefanatikan kaum muslimin. Mereka berbisik-bisik, dan apa yang mereka bisikkan itu, jelas tentang kehadiran saya yang mungkin tidak mereka inginkan. Bayangan kekanak-kanakan saya menunjukkan akan terjadinya tindakan kekerasan, kedua orang itu pasti akan menancapkan goloknya ke dada saya yang kafir ini. Kalau bisa saya ingin keluar dari tempat ini dan bebas dari ketakutan, akan tetapi badan saya menjadi lemas dan tidak bisa bergerak.

Beberapa saat kemudian, seorang pelayang datang dan menghidangkan secangkir kopi yang harum sambil menoleh kepada kedua orang yang menakutkan itu. Saya pun menoleh kepada mereka dengan muka ketakutan, akan tetapi ternyata mereka mengucapakan salam kepada saya dengan suara yang ramah sambil tersenyum tipis. Dengan sikap yang ragu-ragu saya mencoba berpura-pura tersenyum, dan kedua orang "musuh"itu pun berdiri mendekati saya, sehingga jantung saya berdebar lebih keras, membayangkan kemungkinan orang-orang itu akan mengusir saya, akan tetapi ternyata kedua orang itu mengucapkan salam kepada saya kedua kalinya, dan mereka duduk didekat saya. Seorang diantaranya menyodorkan rokok kepada saya dan sekalian menyulutkannya, ternyata dibalik sisi lahirnya yang kasar dan menakutkan itu terdapat jiwa yang mulia. Saya mengumpulkan kembali keberanian saya dan saya bercerita kepada mereka dengan bahasa Turki yang patah-patah, kata-kata saya itu ternyata menarik perhatian mereka dan tampak dalam kehidupan mereka jiwa persahabatan dan cinta kasih. Kedua orang itu mengundang saya agar berkunjung ke rumah mereka, kebalikan dari permusuhan yang saya duga semula. Mereka menunjukkan kasih sayang kepada saya kebalikan dari menancapkan golok di dada saya yang saya bayangkan semula.

Itulah perjumpan saya yang pertama dengan kaum muslimin.

Beberapa tahun telah lewat dalam hidup saya yang penuh dengan perjalanan dan studi. Semua itu membuka mata saya kearah pandangan baru yang menakjubkan .

Saya berkunjung ke semua negeri di Eropa mengikuti kuliah di Universitas Istambul, menikmati keindahan bersejarah Asia kecil dan Syiria, belajar bahasa Turki, Persia dan Arab serta mengikuti kuliah dan ilmu ilmu keislaman Universitas Budapest. Segala ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam buku-buku abad lampau saya baca dengan pandangan kritis, dan jiwa yang kehausan. Pada buku-buku itu saya menemukan titik-titik terang tentang berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Saya merasakan kenikmatan bernaung di bawah kehidupan beragama. Otak saya menjadi beku, akan tetapi jiwa saya tetap kehausan. Karena itu saya mencoba melepaskan diri dari segala ilmu pengetahuan yang selama ini saya kumpulkan, agar saya dapat kembali bebas dari segala kotoran dalam semangat mencari kebenaran. Bagaikan besi mentah yang menjadi baja yang keras dengan cara dilebur dan diberi temperatur rendah secara tiba-tiba.

Pada suatu malam saya bermimpi, seakan-akan Muhammad Rasulullah saw.dengan jenggotnya yang panjang berwarna henna, jubahnya yang besar dan rapi menyebarkan bau wangi harum dan semerbak dan cahaya kedua belah matanya mengkilat penuh wibawa itu tertuju kepada saya. Dengan suara lemah lembut, beliau bertanya kepada saya,"Kenapa engkau bingung? Sebenarnya jalan yang lurus telah terbentang dihadapanmu, amat terbentang bagaikan permukaan bumi. Berjalanlah diatasnya dengan langkah yang mantap dan dengan kekuatan iman."

Dalam mimpi ajaib ini, saya menjawab dengan bahasa arab, "Ya Rasulullah! Memang itu mudah buat Tuan, Tuan adalah perkasa. Tuan dapat menundukkan setiap lawan pada waktu Tuan memulai perjalanan Tuan dengan bimbingan dan pertolongan Allah. Bagi saya tetap sulit. Siapakah yang tahu kapan saya dapat menemukan ketenangan?"

Beliau menatap tajam kepada saya dengan penuh pengertian. Sejenak beliau berfikir, kemudian bersabda dengan bahasa Arab yang jelas, yang setiap katanya berdentang bagai suara lonceng perak. Dengan lisannya yang mulia yang mengemban perintah Allah itu meresap kedalam jiwa saya, beliau membacakan ayat ke-6 sampai dengan ke-9 surat An Naba' yang artinya "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? dan gunung-gunung sebagai pasak?dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan,dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat."

Dalam kepeningan, saya berkata, "Saya tidak bisa tidur. Saya mampu menembus segala misteri yang meliputi segala rahasia yang tebal ini. Tolonglah saya Muhammad! Tolonglah saya Rasulullah!" Begitulah yang keluar dari kerongkongan saya, suara teriakan yang terputus-putus, seakan-akan saya tercekik dengan beban yang berat ini. Saya takut kalau Rasulullah saw. marah kepada saya. Kemudian saya merasa terjatuh kesebuah tempat yang amat dalam. Tiba-tiba terbangunlah saya dari mimpi itu dengan badan bercucuran keringat yang hampir-hampir bercampur darah. Seluruh anggota badan terasa sakit. Saya menjadi sangat sedih dan suka menyendiri.

Pada hari Jumat berikutnya terjadilah sebuah peristiwa besar dalam masjid Jami' New Delhi. Seorang asing berwajah lesu dan rambut beruban menerobos masuk disertai beberapa orang pemuda di antara jemaah yang beriman. Saya mengenakan pakaian India dan berkopiah rampuri, sedangkan di dada saya tertampang medali-medali Turki yang telah dianugerahkan oleh para sultan Turki terdahulu kepada saya. Kaum muslimin dalam masjid itu melihat saya dengan keheranan. Rombongan saya mengambil tempat di dekat mimbar, tempat para ulama dan para terkemuka duduk. Mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang tinggi melengking.

Saya duduk didekat mimbar yang penuh perhiasan, sedangkan tiang-tiang di dekat masjid penuh dengan sarang laba-laba. Terdengarlah suara azan dan para mukabbir berdiri di berbagai tempat untuk meneruskan suara azan ketempat sejauh yang mungkin dicapainya. Selesai adzan, berdirilah orang-orang yang jumlahnya hampir empat ribu untuk salat, sekan akan barisan tentara memenuhi seruan Allah dengan berjajar rapat, tekun dan khusuk. Saya sendiri termasuk salah seorang yang khusuk itu. Kejadian itu sungguh merupakan momentum yang agung.

Selesai salat, Abdul Hay memegang tangan saya untuk berdiri di muka mimbar. Saya berjalan hati-hati agar tidak menyentuh orang yang duduk berbaris. Waktu peristiwa besar sudah dekat. Saya berdiri dekat mimbar lalu berjalan di antara orang banyak yang saya lihat berupa beribu-ribu kepala bersorban, seakan-akan kebun bunga. Mereka melihat dengan penuh perhatian kepada saya. Saya berdiri dikelilingi para ulama dengan jenggot yang kelabu dan penglihatan yang memberi kekuatan. Lalu mereka mengumumkan tentang diri saya, satu hal yang tidak dijanjikan sebelumnya. Tanpa ragu-ragu saya naik ke mimbar sampai tangga yang ke tujuh, lalu saya menghadap kepada orang banyak yang seakan-akan tidak ada ujungnya dan seperti lautan yang berombak. Semua punduk merunduk kepada saya, di halaman masjid semua orang bergerak. Saya mendengar orang yang dekat kepada saya berkali-kali mengucapkan maasya Allah disertai pandangan yang memancarkan rasa cinta kasih. Kemudian mulailah saya berbicara dalam bahasa Arab.

"Tuan-tuan yang terhormat, saya datang dari negeri yang jauh untuk mencari ilmu yang tidak bisa didapat di negeri saya, saya datang untuk memenuhi hasrat jiwa saya dan tuan-tuan telah mengabulkan harapan saya itu."

Lalu saya berbicara tentang peredaran zaman yang dialami oleh Islam dalam sejarah dunia dan tentang beberapa mukjizat yang Allah gunakan untuk memperkuat Rasul-Nya saw.. Saya juga kemukakan tentang keterbelakangan kaum muslimin pada zaman akhir-akhir ini, tentang cara-cara yang mungkin bisa mengembalikan kebesaran yang telah hilang dan tentang adanya sebagian orang Islam yang mengatakan bahwa segala sesuatu sepenuhnya tergantung kepada kehendak Allah SWT, padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur'anul karim, "Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka sendiri mau mengubah keadaan dirinya."

Saya memusatkan pembicaraan saya kepada persoalan ini dengan mengemukakan ayat-ayat kitabullah. Kemudian tentang peningkatan hidup yang sici atau taqwa dan perlunya memerangi perbuatan dosa.

Seusai berbicara, saya pun duduk istirahat. Saya berbicara dengan penuh perasaan, dan saya dengar orang-orang di seluruh pelosok masjid berteriak "Allahu Akbar!!!" Terasalah pengaruh dan semangatnya yang merata ke seluruh tempat, dan saya tidak bisa mengingat-ingat lagi apa yang kemudian terjadi, selain di atas mimbar, Aslam memanggil dan memegang pergelangan tangan saya keluar dari masjid.

Saya bertanya kepadanya, "Mengapa terburu-buru?" Orang-orang berdiri dan memeluk saya. Berapa banyak orang miskin yang melihat dengan mata sayu kepada saya, meminta doa restu dan mereka ingin dapat mencium kepala saya. Saya berseru kapada Allah supaya tidak membiarkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa ini melihat kepada saya seakan -akan saya berderajat lebih tinggi daripada mereka. Padahal saya tidak lebih dari salah satu binatang yang melata di bumi, atau seorang yang lain. Saya merasa malu menghadapi harapan orang- orang suci itu, dan saya merasa seakan-akan telah menipu mereka. Alangkah beratnya beban yang menupuk pada bahu penguasa dan sultan. Orang yang menaruh kepercayaan dan minta pertolongan kepadanya dengan perkiraan bahwa penguasa itu dapat mengerjakan apa yang mereka sendiri tidak mampu.

Aslam mengeluarkan saya dari kerumunan dan pelukan saudara-saudara saya yang baru, dan mendudukkan saya pada sebuah tonga (kendaraan roda dua di India) dan membawa saya pulang. Pada hari-hari berikutnya, orang berbondong-bondong menemui saya untuk menunjukkan suka cita, dan saya merasakan kecintaan dan kebaikan mereka cukup menjadi bekal selama hidup saya.

Sumber: Limaa Dzaa Aslamnaa? Rabithah Alam Islamy Makkah al-Mukarramah
(Buku Limaa Dzaa Aslamnaa? oleh Rabithah Alam Islamy Makkah al-Mukarramah telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Cahaya Press, Jln. F, No. 46, Cip. Muara, Kalimalang, telp. (021)8580649, Fax. (021)85909667, Jakarta Timur 13420, PO BOX 7837 JAT CC 13340, dengan judul Islam Pilihan Kami: Kisah Para Tokoh dan Ilmuwan Dunia Mendapat Hidayah)

Tidak ada komentar