Menghapal Al Quran.


Menghapal Al Quran.


          Di antara karakteristik Al Quran adalah: ia merupakan Kitab Suci yang dimudahkan untuk dihapal dan diulang-ulang, dan ia juga dimudahkan untuk diingat dan fahami.
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?.” (Al Qamar:17), dan ayat lainnya.
          Karena dalam lafazh-lafazh Al Quran, redaksi-redaksinya, dan ayat-ayatnya mengandung keindahan, kenikmatan dan kemudahan, sehingga mudah unuk dihapal bagi orang yang ingin menghapalnya, menyimpan dalam hatinya, dan menjadikan hatinya sebagai tempat Al Quran.
          Dari sini, kita mendapati ribuan  bahkan puluhan ribu kaum Muslimin yang menghapal Al Quran, dan mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang belum menginjak usia baligh. Dalam usia yang masih kanak-anak itu, mereka  tidak mengetahui  nilai kitab suci, juga apakah ia suci atau tidak, namun tetap saja Al Quran dihapal oleh bilangan orang yang banyak itu.
          Jika Anda meneliti perhatian orang-orang Kristen terhadap Kitab Suci mereka,  kita akan mendapatkan tidak seorangpun yang hapal isinya, tidak setengahnya,  atau seperempatnya, dari kalangan orang-orang yang beriman dengan kitab itu, hingga para rahib, pendeta, uskup dan kardinal sekalipun tidak hapal kitab suci mereka.
          Sementara dengan Al Quran, kita mendapatkan banyak non-Arab yang hapalannya amat bagus: seperti saudara-saudara kita dari India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Turki, Senegal dan Muslim Asia-Afrika lainnya, padahal mereka tidak memahami bahasa Arab. Kami pernah menguji mereka dalam musabaqah-musabaqah menghapal Al Quran  di negeri Qathar, dan aku dapati salah seorang mereka ada yang menghapal demikian bagusnya sehingga seperti sebuah kaset rekaman Al Quran, yang tidak melupakan satu huruf-pun dari Al Quran, atau satu kata darinya, namun demikian, saat kami tanya dia (dengan bahasa Arab): siapa nama Anda? Ia tidak dapat menjawab! Karena ia tidak memahami bahasa Arab.
Ini semua adalah perwujudan dari firman Allah SWT:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9).
Allah SWT telah menjamin pemeliharaan Al Quran ini dengan ungkapan yang tegas itu[1], dan diantara perangkat untuk memeliharanya adalah: menyiapkan orang yang menghapalnya, dari satu generasi ke generasi lainnya.
Kami telah menghapal Al Quran dengan baik saat belum lagi menginjak usia sepuluh tahun, dan mungkin kami dapat menghapalnya pada usia yang lebih muda lagi.
Kami dapati di Bangladesh seorang anak-anak yang telah hapal Al Quran saat ia berusia sembilan tahun. Saat kami mencoba hapalannya, kami dapati hapalannya amat bagus.
Kami mendapati di Mesir anak yang telah hapal Al Quran saat ia berusia tujuh tahun, seperti kami saksikan dalam musabaqah tahfizh Al Quran. Dan salah seorang[2] darinya datang ke Qathar, dan kemudian diterima dengan hormat oleh menteri Pendidikan  Qathar beberapa tahun yang lalu. Dan kami melihat seorang anak pada usia yang sama telah menghapal Al Quran dan membacanya dengan baik, dari sebuah kampung dekat kampung asalku di Mesir, yaitu Sajin al Kaum[3].
Kami temukan sebagian pendidik kontemporer yang mengkritik kegiatan menghapal Al Quran pada saat kanak-kanak, karena ia menghapalnya tanpa pemahaman, dan manusia tidak seharusnya menghapal apa yang tidak ia fahami.
Namun kaidah ini tidak boleh diaplikasikan bagi Al Quran, karena tidak mengapa seorang anak menghapal Al Quran pada masa kanak-kanak untuk kemudian memahaminya pada saat dewasa. Karena menghapal pada saat kanak-kanak seperti memahat di atas batu, seperti dikatakan seoarang bijaksana pada masa lalu. Dan saat ada yang mengatakan: orang yang dewasa lebih matang akalnya! Ada yang menjawab: namun ia lebih banyak kesibukannya!
Kami telah menghapal Al Quran dan menyimpannya dalam hati semenjak masa kanak-kanak itu, kemudian Allah SWT memberikan manfaat kepada kami saat dewasa.

Di antara keistimewaan Al Quran adalah: ia merupakan kitab yang dijelaskan dan dimudahkan untuk dihapal, seperti kami telah jelaskan dalam karakteristik-karakteristiknya. Oleh karena ia dipahami –secara global—oleh yang kecil dan yang besar, yang tidak berpendidikan maupun yang berpendidikan, dan setiap orang mengambil pemahaman darinya sesuai dengan kemampuannya.
Kami perlu sebut di sini –saat kami belajar di al Kuttab (madrasah penghapal Al Quran)— kami pernah membaca kisah-kisah Al Quran dan nasehat-nasehatnya, dan kami mengetahui ibrah umum dari kisah-kisah itu, meskipun kami tidak mencapai makna-makna yang dalam yang terkandung dalam redaksi Al Quran, hukum-hukumnya dan semacamnya.
            Kejadian yang lain adalah saat kami mengulang hapalan surah Ash Shaaffaat  kepada syeikh Kuttab kami yaitu Syaikh Hamid. Dalam surah itu terdapat banyak kisah para Rasul, dan di antaranya adalah kisah Nabi Luth a.s. dan kaumnya yang dihancurkan oleh Allah SWT  dan dibinasakan dengan azab-Nya. Tentang mereka Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Luth benar-benar salah seorang rasul. (Ingatlah) ketika Kami selamatkan dia dan keluarganya (pengikut-pengikutnya) semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya yang berada) bersama-sama orang yang tinggal. Kemudian Kami binasakan orang-orang yang lain. Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam. Maka apakah kamu tidak memikirkan?.” ( Ash Shaaffaat: 133-138).
Kami membaca dua ayat yang terakhir itu seperti ini:
 وَإِنَّكُمْ لَتَمُرُّونَ عَلَيْهِمْ مُصْبِحِينَ(137)وَبِاللَّيْلِ  “.
 Dengan menyambung kata “مُصْبِحِينَ وَبِاللَّيْلِ  “, dan tidak berhenti pada ujung ayat, kemudian kami membaca:  أَفَلَا تَعْقِلُونَ   “. Mendengar itu, Syeikh Hamid berkomentar: Allah yaftah `alaik! (Allah membuka pemahaman engkau!) Syeikh itu mengetahui kami telah memahami makna ayat itu: “
Kami dapati sebagian saudara kita yang beragama Kristen yang dengan serius berusha menghapal Al Quran atau banyak juz dari Al Quran, dan agar anak-anaknya juga menghapalnya pada usia kanak-kanak mereka. Seperti diceritakan sendiri oleh Dr. Nazhmi Lukas, seorang sastrawan Koptik Mesir, tentang dirinya, dalam pembukaan bukunya yang terkenal “Muhammad: Risalah dan Rasul”. Ia menceritakan bagaimana bapaknya mengirimnya kepada salah seorang syaikh yang buta dan amat baik hapalannya di kota Suez, kemudian bapaknya meminta syeikh itu untuk mengajarkan anaknya menghapal Al Quran, dan dasar-dasarnya. Dan iapun melaksanakannya.
Pemimpin politik Koptik Mesir yang terkenal Makram Ubeid menghapal Al Quran dalam jumlah banyak, dan ia dengan lincah mengutip dari Al Quran dalam pidato-pidatonya, dalam artikel-artikelnya, dalam pembelaannya di persidangan, dan kata-kata Al Quran yang ia gunakan itu memberikan keindahan dalam ucapan-ucapannya, dan memberika kekuatan yang tidak dapat diberikan oleh sumber lainnya selain Al Quran.
Diantara manfaat menghapal Al Quran pada masa kanak-kanak adalah: meluruskan lidah, membaca huruf dengan tepat, dan mengucapkannya sesuai denan makhraj hurufnya, dan tidak mengalami seperti dialami oleh orang awam dan sayangnya sebagian pendidik, yang kurang fasih dalam membaca huruf jim, dan tidak mengeluarkan lidah saat membaca huruf tsa, dzal, zha dan lainnya, tidak menebalkan huruf-huruf izh-har yang terkenal dalam kha, shad, dhadh, tha, zha, ghain, dan qaf,  kapan harus menebalkan huruf raa dan kapan menipiskannya, juga seperti huruf lam dalam kata Allah, kaditebalkan, dan kapan ditipiskan. Dan semacamnya dari bermacam-macam hal yang biasa kita lakukan, sehingga membuat lidah kami lembut dari semenjak kanak-kanak, akibat menghapal Al Quran dan membacanya dengan baik, sehingga akhirnya itu menjadi tabi`at kami yang kedua.  


1. Keutamaan Menghapal Al Quran.


Banyak hadits Rasulullah SAW yang mendorong untuk menghapal Al Quran, atau membacanya di luar kepala, sehingga hati seorang individu Muslim tidak kosong dari sesuatu bagian dari kitab Allah SWT. Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas secara marfu`:
Orang yang tidak mempunyai hapalan Al Quran sedikitpun adalah seperti rumah kumuh yang mauh runtuh “[4].
Dan Rasulullah SAW memberikan penghormatan kepada orang-orang yang mempunyai keahlian dalam membaca Al Quran dan menghapalnya,  memberitahukan kedudukan mereka, serta mengedepankan mereka dibandingkan orang lain.
Dari Abi Hurarirah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW mengutus satu utusan yang terdiri dari beberapa orang. Kemudian Rasulullah SAW mengecek kemampuan membaca dan hapalan Al Quran mereka: setiap laki-laki dari mereka ditanyakan sejauh mana hapalan Al Quran-nya. Kemudian seseorang yang paling muda ditanya oleh Rasulullah SAW : “Berapa banyak Al Quran yang telah engkau hapal, hai pulan?” ia menjawab: aku telah hapal surah ini dan surah ini, serta surah Al Baqarah. Rasulullah SAW kembali bertanya: “Apakah engkau hapal surah Al Baqarah?” Ia menjawab: Betul. Rasulullah SAW bersabda: “Pergilah, dan engkau menjadi ketua rombongan itu!”. Salah seorang dari kalangan mereka yang terhormat berkata:  Demi Allah, aku tidak mempelajari dan menghapal surah Al Baqarah semata karena aku takut tidak dapat menjalankan isinya. Mendengar komentar itu, Rasulullah SAW bersabda: 
Pelajarilah Al Quran dan bacalah, karena perumpamaan orang yang mempelajari Al Quran dan membacanya, adalah seperti tempat bekal perjalanan yang diisi dengan minyak misik, wanginya menyebar ke mana-mana. Sementara orang yang mempelajarinya kemudia ia tidur –dan dalam dirinya terdapat hapalan Al Quran— adalah seperti  tempat bekal perjalanan yang disambungkan dengan minyak misik “[5].
Jika tadi kedudukan pada saat hidup, maka saat mati-pun, Rasulullah SAW mendahulukan orang yang menghapal lebih banyak dari yang lainnya dalam kuburnya, seperti terjadi dalam mengurus syuhada perang Uhud.
Rasulullah SAW mengutus kepada kabilah-kabilah para penghapal Al Quran dari kalangan sahabat beliau, untuk mengajarkan mereka faridhah Islam dan akhlaknya, karena dengan hapalan mereka itu, mereka lebih mampu menjalankan tugas itu. Di antara sahabat itu adalah: tujuh puluh orang yang syahid dalam kejadian Bi`ru Ma`unah yang terkenal dalam sejarah. Mereka telah dikhianati oleh orang-orang musyrik.
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Penghapal Al Quran akan datang pada hari kiamat, kemudian Al Quran akan berkata: Wahai Tuhanku, bebaskanlah dia, kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan), Al Quran kembali meminta: Wahai Tuhanku tambahkanlah, maka orang itu dipakaikan jubah karamah. Kemudian Al Quran memohon lagi: Wahai Tuhanku, ridhailah dia, maka Allah SWT meridhainya. Dan diperintahkan kepada orang itu: bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga), dan Allah SWT  menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan ni`mat dan kebaikan  [6].
Balasan Allah SWT di akhirat tidak hanya bagi para penghapal dan ahli Al Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al Quran.
Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini: dijawab: “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran” [7].
Kedua orang itu mendapatkan kemuliaan Tuhan, karena keduanya berjasa  mengarahkan anaknya untuk menghapal dan mempelajari Al Quran semenjak kecil. Dan dalam hadits terdapat dorongan bagi para bapak dan ibu untuk mengarahkan anak-anak mereka untuk menghapal Al Quran  semenjak kecil.
Ibnu Mas`ud berkata:
Rumah yang paling kosong dan lengang adalah rumah yang tidak mengandung sedikitpun bagian dari Kitab Allah SWT ”[8].
Dan pengertian kata “ashfaruha” adalah: yang paling kosong dari kebaikan dan berkah. 
Al Munziri meriwayatkan dalam kitab At Targhib wa At Tarhib dengan kata: “ashghar al buyut” dengan ghain bukan fa. Dan maknanya adalah: rumah yang paling hina kedudukannya, dan paling rendah nilainya.

Para penghapal Al Quran dari Kalangan Sahabat.
Banyak terdapat hadits yang berbicara tentang keutamaan orang yang membaca Al Quran dan menghapalnya. Seorang penghapal dinamakan: al qari, sementara kalangan penghapal dinamakan: al qurra. Dan kadang-kadang menghapal diungkapkan dengan kata “al jam`u”.
Al Bukhari meriwayatkan dari Qatadah: ia berkata: aku bertanya kepada Anas bin Malik: siapa yang menghapal Al Quran pada masa Rasulullah Saw, ia menjawab: “empat orang, seluruhnya dari kalangan Anshar, yaitu: Mu`adz, Ubay bin Ka`b, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid (salah satu paman Anas)”.
Dalam riwayat yang lain, dari Anas ia berkata: Saat Rasulullah SAW wafat, hanya ada empat orang yang hapal Al Quran: Abu Darda, Mu`adz bin Jabal, Zaid bin Tsatbit dan Abu Zaid[9].
Riwayat ini bertentangan dengan riwayat lainya dari dua segi: pertama: menggunakan redaksional hashr (pembatasan) pada empat orang. Dan kedua: menyebut Abu Dard sebagai ganti Ubay bin Ka`b!.
Beberapa imam menolak pembatasan sahabat yang hapal hanya empat orang. Dan mereka menakwilkan: bahwa perkataan itu seperti itu adalah dalam batas sepengetahuannya. Karena para penghapal lebih banyak dari itu bilangannya, seperti telah diketahui dengan yakin. Al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Amru ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Pelajarilah Al Quran dari empat orang: dari Abdullah bin Mas`ud, Salim (maula Abi Huzaifah), Mu`adz, dan Ubay bin Ka`b.” Dua yang pertama adalah dari kalangan muhajirin.
Hadits yang mengakui keutamaan empat orang dari kalangan Anshar itu tidak menafikan keberadaan yang lainnya yang hapal Al Quran pada saat itu. Banyak sahabat yang menghapal Al Quran seperti hapalan empat orang itu, atau lebih bagus. Dalam riwayat yang sahih: dalam perang Bi`ru Ma`unah yang terbunuh dalam kejadian itu dari kalangan sahabat adalah mereka yang dikenal dengan Al Qurra (para penghapal Al Quran) dan bilangan mereka adalah: tujuh puluh orang.
Al Qurthubi memberikan komentar atas perkataan Anas tadi: pada saat perang Yamamah (Perang melawan gerakan murtad) ada tujuh puluh qurra yang syahid, dan pada masa Nabi Saw di Bi`ru Ma`unah sejumlah yang sama juga mendapatkan mati syahid. Anas menyebutkan hanya empat orang itu adalah karena ia amat dekat dengan keempatnya, atau pada saat itu yang ia ingat adalah empat orang itu.
SementaAl Hafzih Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa yang dimaksud oleh Anas itu adalah dari kalangan Khazraj, tidak termasuk suku Aus. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Jarir darinya ia berkata: Dua suku Aus dan Khazraj berbangga-bangga, Aus berkata: Di antara kami ada yang membuat Arsy bergetar, yaitu Sa`d bin Mu`adz, ada yang persaksiannya dihitung dua persaksian laki-laki, yaitu Khuzaimah bin Tsabit, dan yang dimandikan oleh Malaikat, yaitu Hanthalah bin Abi Amir, dan orang yang dijaga oleh sekawanan lebah, yaitu Ashim bin Abi Tsabit. Sementara suku Khajraz berkata: dari kami ada empat orang yang menghapal Al Quran dengan baik, tidak seperti orang lain ……dan ia menyebutkan namanya[10].
Al Hafizh as Suyuthi menyebutkan wanita yang menghapal Al Quran, yang menurutnya tidak ada orang lain yang menyebutnya, yaitu Ummu Waraqah binti Abdillah bin Al Harits. Dan Rasulullah SAW pernah menziarahinya, dan menamakannya dengan syahidah, Nabi Muhammad Saw memerintahkannya untuk mengimami keluarganya dalam shalat. Pada masa kekhalifahan Umar wanita itu terbunuh oleh hambanya. Umar berkomentar: Benarlah Rasulullah SAW, beliau pernah bersabda:
Mari kita berangkat menziarahi  wanita syahidah“!.
Ibnu Hajar berkata: yang tampak dari banyak hadits: bahwa Abu Bakar telah menghapal Al Quran pada masa Rasulullah SAW. Dalam hadits sahih diriwayatkan ia membangun masjid di depan rumahnya, dan membaca Al Quran di sana, dan ia ditandu saat sakit menimpanya. Ia berkata: ini tidak diragukan lagi, karena kesungguhan Abu Bakar untuk menerima Al Quran langsung dari Nabi Saw, ditambah keseriusan hatinya untuk menerima Al Quran. Keduanya berada bersama di Mekkah, dan pergaulan keduanya amat lengket, sehingga Aisyah r.a. berkata: adalah Rasulullah SAW mendatangi mereka setiap pagi dan petang. Dalam hadits sahih Rasulullah SAW bersabda:  
Yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai tentang Kitab Allah “[11]. Dan Rasulullah SAW mengedepankan Abu Bakar r.a. untuk menjadi imam shalat kalangan muhajirin dan Anshar. Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling menguasai dan menghapal Al Quran dibandingkan yang lain. As Suyuthi berkata: Pendapat ini telah dikemukakan oleh Ibnu Katsir sebelumnya[12].
Ia berkata: Ibnu Abi Daud meriwayatkan dengan sanad hasan dari Muhammad bin Ka`b al Qurazhi ia berkata: pada masa Rasulullah SAW ada lima orang Anshar yang menghapal Al Quran: yaitu Mu`adz bin Jabal, Ubadah bin Shamit, Ubay bin Ka`b,  Abu Darda dan Abu Ayyub al Anshari. Di sini ia menambahkan bilangan yang telah disebut oleh Anas, yaitu: Ubadah dan Abu Ayyub.
Abu Ubaid menyebutkan dalam kitab “al Qiraat” para al Qurra dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Dari kalangan Muhajirin adalah: Khalifah yang empat, Thalhah, Sa`d, Ibnu Mas`ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin Saib, Abadilah, Aisyah, Hafshah dan Ummu Salmah. Sedangkan dari Anshar adalah: Ubadah bin Shamit, Mu`adz yang mempunyai nama panggilan Abu Halimah, Majma` bin Jariah, Fadhalah bin Ubaid, dan Muslimmah bin Mukhallad. Ia mengatakan bahwa sebagian dari mereka telah menyempurnakan hapalannya setelah Rasulullah SAW wafat.
As Suyuthi berkata: Ibnu Abu Daud memasukkan juga: Tamim Ad Dari dan Uqbah bin `Amir. Ia berkata: Di antara orang yang menghapal juga adalah: Abu Musa al Asy`ari, seperti disebut oleh abu Amru ad Dani[13].
Tentunya pada masa sahabat, jumlah penghapal Al Quran tidak sebanyak pada masa kita sekarang ini, karena mereka mempelajari Al Quran; ilmu dan amalnya sekaligus.
Oleh karena itu Umar berkata: Jika seseorang telah mempelajari  surah Al Baqarah dan Ali Imran maka ia telah tampak terhormat di mata kami! Artinya ia menjadi orang yang mempunyai kehormatan dan kedudukan di mata kami.
            Saat Umar mengkhatamkan surah Al Baqarah, ia menyembelih unta sebagai ucapan syukur kepada Allah SWT atas nikmat itu. Dan kami sendiri, saat masih kecil, jika telah menghatamkan surah Al Baqarah kami membuat acara, dan kami namakan itu sebagai: Al Khatmaah ash Shughra (khataman kecil). Sedangkan Al Khatmah al Kubra (khataman besar) adalah dengan menyempurnakan menghapal Al Quran seluruhnya.
            Ini tidak aneh, karena Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW: 
Jangan jadikan rumah-rumah kalian menjadi kuburan, karena rumah yang tidak dibacakan surah Al Baqarah di dalamnya, tidak dimasuki oleh syaitan “[14].
            Dari Abi Umamah al Bahili: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Bacalah surah Al Baqarah, karena membacanya membawa berkah, dan meninggalkannya adalah kerugian, dan orang yang membacanya tidak dapat disihir (teluh atau santet)” [15]. Artinya: para penyihir, tidak dapat mencapai sasarannya.
            Ibnu Mas`ud berkata: “Al Quran ini adalah hidangan Allah SWT, maka barangsiapa yang dapat mempelajari sesuatu dari Al Quran hendaknya ia mempelajarinya. Karena rumah yang paling kosong dari kebaikan adalah rumah yang di dalamnya tidak ada sedikitpun kitab Allah SWT. Rumah yang tidak ada sesuatupun di dalamnya dari kitab Allah, adalah seperti rumah kosong yang tidak berpenghuni. Dan syaitan akan keluar dari rumah yang di dalamnya dibaca surah Al Baqarah[16].
            Ibnu Masu`d berkata pula: “  Segala sesuatu mempunyai puncak, dan puncak Al Quran adalah: Surah al Baqarah”[17].

















2. Etika para Penghapal Al Quran.


            Para penghapal Al Quran mempunyai etika-etika yang harus diperhatikannya. Dan mereka mempunyai tugas yagn harus dijalankan, sehingga mereka benar-benar menjadi “keluarga Al Quran”, seperti sabda Rasulullah SAW tentang mereka:
Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Beliau ditanya: siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ahli Al Quran, mereka adalah keluarga Allah Saw dan orang-orang dekat-Nya “[18].

Selalu Bersama Al Quran.
            Di antara etika itu adalah: selalu bersama Al Quran, sehingga Al Quran tidak hilang dari ingatannya. Yaitu dengan terus membacanya dari hapalannya, atau dengan membaca mushaf,  atau juga dengan mendengarkan pembaca yang bagus, dari radio atau kaset rekaman para qari yang terkenal. Berkat ni`mat Allah SWT, di beberapa negara Islam terdapat siaran Al Quran al Karim, yang memberikan perhatian pada pembacaan Al Quran, tajwidnya serta tafsirnya.
            Dari Ibnu Umar r.a.: bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:            
Perumpamaan orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang terikat, jika ia terus menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia lepaskan maka ia akan segera hilang.” Hadits diriwayaktan oleh Bukhari dan Muslim. Dan Muslim menambah dalam riwayatnya:
Jika ia menjaganya, dan membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingatnya, sedangkan jika tidak, maka ia akan melupakannya”[19].
            Makna “al mu`aqqalah” adalah: terikat dengan tambang, yaitu tambang yang dipegang karena takut terlepas. Dan pluralnya adalah `uqul.
            Dari Abdullah bin Mas`ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Amat buruk orang yang berkata: “Aku telah melupakan hapalan ayat ini dan ayat itu, namun sebenarnya ia dilupakan. Terus ulang-ulanglah hapalan Al Quran, karena ia lebih cepat pergi dari dada manusia, dari perginya unta dari ikatannya”[20].
            Makna kata “nussia“ adalah: Allah SWT yang membuatnya lupa, sebagai hukuman terhadap kesalahan yang ia lakukan.
            Dari Abi Musa al Asy`ari r.a. dari Nabi Saw bersabda:
Teruslah jaga hapalan Al Quran, karena Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, ia lebih cepat lepas dari lepasnya unta dari ikatannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan riwayat Bukhari dengan kata “asyaddu tafashshian” [21].
            Penghapal Al Quran harus menjadikan Al Quran sebagai temannya dalam kesendiriannya, serta penghiburnya dalam kegelisahannya, sehingga ia tidak berkurang dari hapalannya. Qasim bin Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada sebagian kaum sufi: tidak ada seorangpun yang menjadi teman kesepianmu di sini? Ia mengulurkan tangannya ke mushaf, dan meletakkannya di atas batu dan berkata: inilah temah kesepianku!
            As Suyuthi berbicara tentang hukum melupakan Al Quran, ia berkata: melupakan hapalan Al Quran adalah dosa besar, seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab “Ar Raudhah” dan ulama lainnya. Dengan dalil hadits Abi Daud:
Dosa-dosa umatku diperlihatkan kepadaku, dan aku tidak dapati dosa yang lebih besar dari dosa seseorang yang diberi ni`mat hapal Al Quran atau suatu ayat, kemudian ia melupakannya”[22]. Dan ia meriwayatkan pula hadits:
Siapa yang membaca (hapal) Al Quran namun kemudian melupakannya, maka ia akan bertemu Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan terserang penyakit sopak”[23]. Demikian pula hadits Ibnu Mas`ud dan Abi Musa  sebelumnya.
            Sedangkan hadits Abi Daud yang pertama, diriwayatkan oleh Tirmizi, dan ia berkata: hadits itu gharib (atau dha`if). Dan ketika Imam Bukhari ditunjukkan hadits itu, ia tidak mengetahuinya dan melihatnya hadits yang gharib[24]. Sedangkan hadits kedua dikomentari oleh Al Munziri: dalam sanadnya adalah Yazid bin Abi Ziyad, ia tidak dapat dijadikan hujjah, dan ia juga munqathi`[25].
            Jika hadits-hadits yang dijadikan landasan orang yang mengatakan bahwa melupakan Al Quran adalah dosa besar, telah jelas kelemahannya, maka yang tersisa adalah celaan terhadap tindakan melupakan Al Quran itu. Karena sang penghapal itu jarang mengulangnya, namun tidak sampai kepada keharaman, apalagi menjadi dosa besar.
            Namun yang paling kuat adalah, ia merupakan perkara yang makruh dengan sangat. Dan tidak pantas bagi seorang Muslim yang memiliki perbendaharaan hapalan Al Quran yang amat berharga ini menyia-nyiakannya, hingga hilang darinya.
            Yang membuat kami mengatakan hal ini adalah: kami takut (ancaman dosa besar) ini membuat orang enggan menghapal Al Quran, karena ia mempunyai kemungkinan melupakan hapalannya itu, dan akibatnya ia mendapatkan dosa besar, sementara jika ia tidak menghapalnya sama sekali, ia tidak terancam mendapatkan dosa sedikitpun.

Berakhlaq dengan Akhlaq Al Quran.
            Orang yang menghapal Al Quran hendaklah berakhlak dengan akhlak Al Quran. Seperti Nabi Muhammad Saw. Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, ia menjawab:
Akhlak Nabi Saw adalah Al Quran”[26].
            Penghapal Al Quran harus menjadi kaca yang padanya orang dapat melihat aqidah Al Quran, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya, dan agar ia membaca Al Quran dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya, bukannya ia membaca Al Quran namun ayat-ayat Al Quran melaknatnya.
            Dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Siapa yang membaca (menghapal) Al Quran, berarti ia telah memasukkan kenabian dalam dirinya, hanya saja Al Quran tidak diwahyukan langsung kepadanya. Tidak sepantasnya seorang penghapal Al Quran  ikut maraj bersama orang yang marah, dan ikut bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam dirinya ada hapalan Al Quran “[27].
            Makna kata “yajidu” adalah dari al wajd atau al wijdan, yang berarti: amat marah atau amat sedih. Dengan pengertian ia dikuasai oleh perasaannya, dan hal itu mempengaruhi perilakunya.
            Ibnu Mas`ud r.a. berkata: penghapal Al Quran harus dikenal dengan  malamnya saat manusia tidur, dan dengan siangnya saat manusia sedang tertawa, dengan diamnya saat manusia berbicara, dan dengan khusyu`nya saat manusia gelisah. Penghapal Al Quran harus tenang dan lembut, tidak keras, tidak sombong, tidak bersuara kasar atau berisik dan tidak cepat marah.
            Ibnu Mas`ud r.a. seakan sedang berbicara kepada dirinya sendir, karena ia adalah salah seorang imam penghapal Al Quran, dan ia menjadi orang yang betul-betul sesuai dengan prediket penghapal Al Quran.
            Ibnu Mas`ud juga mengecam orang-orang yang: Al Quran diturunkan kepada mereka agar mereka mengamalkan isinya, namun ia hanya menjadikan kegiatan mempelajari Al Quran itu sebagai amalnya!  Salah seorang dari mereka dapat membaca Al Quran dari awal hingga akhirnya tanpa salah satu huruf-pun, namun ia tidak mengamalkan apa yang terdapat dalam Al Quran itu!
            Seorang zahid yang terkenal; Fudhail bin `Iyadh, berkata: pembawa (penghapal) Al Quran adalah pembawa bendera Islam, maka ia tidak boleh bermain-main bersama orang-orang yang senang bermain, tidak lupa diri bersama orang yang lupa diri dan tidak bercanda bersama orang yang bercanda,  sebagai bentuk penghormatan terhadap hak Al Quran.
            Ia berkata: seorang penghapal Al Quran harus tidak butuh kepada orang lain, tidak kepada para khalifah, dan tidak pula kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, ia harus menjadi tumpuan kebutuhan orang.
            Sebagian salaf berkata: “ada seorang hamba yang saat memulai membaca satu surah Al Quran, maka malaikat akan terus berdoa baginya hingga ia selesai membacanya. Dan ada orang yang membaca satu surah Al Quran, namun malaikat terus melaknatnya hingga ia selesai membacanya”. Seseorang bertanya kepadanya: “mengapa bisa terjadi seperti itu?”. ia menjawab: “Jika ia menghalalkan apa yang dihalalkan Al Quran dan mengharamkan apa yang diharamkan Al Quran maka malaikat akan berdoa baginya, namun jika sebaliknya maka malaikat akan melaknatnya!”.
            Sebagian ulama berkata: ada seseorang yang membaca Al Quran dan ia sedang melaknat dirinya sendiri, dengan tanpa sadar. Ia membaca: “ala la`natullah `ala azh zhaalimiin” (sesungguhnya laknat Allah diberikan kepada orang-orang zalim), sementara ia adalah orang yang zalim! dan membaca “ ala la`natullah ala al mukdzibiin” (sesunguhnya laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta), sementara ia termasuk golongan yang mendustakan itu!
            Inilah makna perkata Anas bin Malik r.a.: Ada orang yang membaca Al Quran, dan Al Quran itu melaknatnya!
            Al Hasan berkata: Kalian menjadikan membaca Al Quran sebagai stasion-stasion, dan menjadikan malam sebagai unta (kendaraan), yang kalian kendarai, dan dengannya kalian melewati stasion-stasion itu. sementara orang-orang sebelum kalian jika melihat risalah-risalah dari Rabb mereka, maka mereka segera mentadabburinya pada malam hari, dan melaksanakan isinya pada siang hari!
            Maisarah berkata: Yang aneh adalah Al Quran yang terdapat dalam diri orang yang senang melakukan perbuatan dosa!
            Keanehan itu terjadi karena Al Quran  berada di satu lembah, sementara akhlak penghapal Al Quran itu dan perilakunya berada di lembah lain!
            Abu Sulaiman Ad Daarani berkata: Neraka Zabbaniah lebih cepat dimasuki oleh penghapal Al Quran –yang melakukan maksiat kepada Allah SWT—dibandingkan penyembah berhala, saat mereka melakukan maksiat kepada Allah SWT setelah membaca Al Quran!
            Sebagian ulama berkata: Jika serang anak Adam membaca Al Quran kemudian ia berlaku buruk, setelah itu ia kembali membaca Al Quran, Dia berkata kepada orang itu: “Apa hakmu membaca firman-Ku, sementara engkau berpaling dari-Ku?!”.
            Ibnu Rimah berkata: Aku menyesal telah menghapal Al Quran, karena aku mendengar bahwa orang-orang yang menghapal Al Quran akan ditanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan sama yang diajukan kepada para Nabi pada hari kiamat![28].
            Tidakaneh jika para penghapal Al Quran dari kalangan sahabat adalah mereka yang berada di barisan pertama saat shalat di Masjid, yang berada di garis terdepan saat jihad,  dan orang yang pertama melakukan kebaikan di tengah masyarakat.
            Dalam sebagian peperangan perluasan wilayah Islam, ada orang yang berteriak: wahai para penghapal surah Al Baqarah, hari ini sihir tidak telah lenyap! Seperti terjadi pada perang Yamamah  yang terkenal dan dalam perang melawan kelompok murtad.
            Huzaifah berkata pada hari yang menegangkan itu: wahai para penghapal Al Quran, hiasilah Al Quran dengan amal perbuatan kalian.
            Pada hari Yamamah (peperangan melawan gerakan riddah) Salim maula Abi Huzaifah, saat ia membawa bendera pasukan Islam, ditanya oleh kaum Muhajirin: “Apakah engkau tidak takut jika kami berjalan di belakangmu?” Ia menjawab: “Sepaling jelek penghapal adalah aku, jika aku sampai berjalan di belakang kalian dalam perang ini!”[29].
            Dalam peperangan Yamamah, saat memerangi Musailimah al Kazzab, sejumlah besar penghapal Al Quran mendapatkan mati syahid, karena mereka selalu berada di barisan terdepan. Hingga ada yang mengatakan: mereka berjumlah tujuh ratus orang. Inilah yang mendorong dilakukannya pembukuan Al Quran, karena ditakutkan para penghapal Al Quran habis dalam medan jihad.
            Cara menghapal mereka membantu mereka untuk melaksanakan isi Al Quran itu. Perhatian mereka tidak hanya untuk menghapal kalimat-kalimat dalam Al Quran itu saja. Namun yang mereka perhatikan adalah memahami makna dan mengikutinya, baik dalam bagian perintah maupun larangan.
            Imam Abu Amru Ad Dani menulis dalam kitabnya “Al Bayan” dengan sanadnya dari Utsman dan Ibnu Mas`ud serta Ubay r.a.: Rasulullah SAW  membacakan kepada mereka sepuluh ayat, dan mereka tidak meninggalkan ayat itu untuk menghapal sepuluh ayat selanjutnya, hingga mereka telah belajar untuk menjalankan apa yang yang terdapat dalam sepuluh ayat itu. Mereka berkata: kami mempelajari Al Quran dan beramal dengannya sekaligus.
            Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Abdurrahman As Sulami, ia berkata: Kami, jika mempelajari sepuluh ayat Al Quran, tidak akan mempelajari sepuluh ayat selanjutnya, hingga kami mengetahui halal dan haramnya, serta perintah dan larangannya (terlebih dahulu)[30].  
            Dalam kitab Muwath-tha Malik ia mengatakan: disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar mempelajari surah Al Baqarah selama delapan tahun.
            Hal itu terjadi karena ia mempelajarinya untuk kemudian mengamalkan kandungannya, ia memerintahkan dengan perintahnya, dan melarang dari larangan-larangannya, dan berhenti pada batas-batas yang diberikan oleh Allah SWT .
            Oleh karena itu Ibnu Mas`ud berkata: Kami merasa kesulitan menghapal Al Quran, namun kami mudah menjalankan isinya. Sedangkan orang setelah kami merasakan mudah menghapal kalimat-kalimat Al Quran, namun mereka kesulitan untuk menjalankan isinya.
            Dari Ibnu Umar ia berkata: Orang yang mulia dari sahabat Rasulullah SAW dari generasi pertama umat ini, hanya menghapal satu surah dan sejenisnya, namun mereka diberikan rezki untuk beramal sesuai dengan Al Quran. Sementara generasi akhir dari umat ini, mereka membaca Al Quran, dari anak kecil hingga orang buta, namun mereka tidak diberikan rezki untuk mengamalkan isinya!
            Mu`adz bin Jabal berkata: “Pelajarilah apa yang kalian hendaki untuk diketahui, namun Allah SWT tidak akan memberikan pahala kepada kalian hingga kalian beramal!”[31].

Ikhlash dalam Mempelajari Al Quran.
            Para pengkaji dan penghapal Al Quran harus mengikhlaskan niatnya, dan mencari keridhaan Allah SWT semata, dan semata untuk Allah SWT ia mempelajari dan mengajarkan Al Quran itu, tidak untuk bersikap ria (pamer)  di hadapan manusia, juga tidak untuk mencari dunia. Imam Al Qurthubi menulis dalam pembukaan tafsirnya “ Bab Tahzir Ahli Al Quran wa al Ilmi min Ar Riya wa Ghairihi” ia berkata:
            Allah SWT berfirman:
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An Nisaa: 36). Dan Allah SWT berfirman: 
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110)
            Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Orang yang pertama kali disidangkan pada hari Kiamat ada seorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Aku berperang membela-Mu hingga aku mati syahid. Allah SWT mengomentari: “engkau berdusta, karena engkau berperang hanya untuk dikatakan sebagai si pemberani, dan itu sudah dikatakan orang”. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seseorang yang telah mempelajari Al Quran, mengajarkannya dan membaca Al Quran. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? ia menjawab: Aku mempelajari Al Quran, dan mengajarkannya kepada manusia, dan aku membaca Al Quran demi-Mu. Allah SWT mengomentari jawabannya itu: “Engkau berdusta, karena engkau mempelajari Al Quran agar dikatakan orang sebagai orang alim, dan engkau membaca Al Quran agar manusia mengatakan: dia seorang qari. Dan itu sudah dikatakan orang. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang Allah SWT berikan keluasan harta, dan kepadanya diberikan seluruh macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Setiap  aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera menginfakkan hartaku demi-Mu. Allah SWT mengomentari jawabannya itu: “Engkau berdusta, karena engkau melakukan itu semua agar dikatakan sebagai seorang dermawan, dan itu telah dikatakan orang. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka”[32]. At Tirmizi meriwayatkan hadits ini: kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku dan bersabda:
Wahai Abu Hurairah, tiga orang itu adalah makhluk Allah SWT yang pertama yang dibakar oleh api neraka pda hari  kiamat.” Ibnu Abdil Barr berkata: hadits iadalah bagi orang yang berniat dengan ilmu dan amalnya bukan karena Allah SWT.
            Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bahwa beliau bersabda:
Siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah –atau ia bertujuan bukan untuk Allah— maka bersiap-siaplah ia menempati tempatnya di neraka” [33].
            Abu Daud dan Tirmizi meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya semata untuk Allah, namun ia mencarinya untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak dapat mencium bau surga pada hari Kiamat” [34]. Artinya: baunya. Tirmizi berkata: hadits ini hasan.
            Tirmizi meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Berlindunglah kalian kepada Allah SWT dari Jubb al Huzn”. Mereka bertnya: Apa itu Jubb al Huzn wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ia adalah sebuah lembah di dalam neraka, yang neraka sendiri memoh perlindungan kepada Allah SWT darinya seratus kali setiap hari”. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Saw, siapa yang memasuki lembah itu? beliau menjawab: “Para pembaca (penghapal Al Quran) yang memamerkan amal-amal mereka” [35]. Ia berkata: hadits ini gharib.
            Para penghapal Al Quran dan penuntut ilmu harus bertakwa kepada Allah SWT dalam dirinya, dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya. Sedangkan perbuatan dan niat buruk yang pernah terjadi sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertaubat dan kembali kepada Allah SWT, untuk kemudian memulai dengan keikhlasan dalam menuntut ilmu dan beramal.
            `Alqamah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ud ia berkata: apa yang akan kalian lakukan jika kalian mendapatkan fitnah yang membuat anak kecil menjadi segera menjadi dewasa dan membuat orang tua  menjadi tua renta, dan itu dijadikan “sunnah” (tradisi)  yang diikuti oleh manusia, jika hal itu ia merubah sedikit saja hal itu, maka ada yang segera mengatakan: Apakah engkau mau merubah sunnah?! Seseorang bertanya: kapan itu terjadi wahai Aba Abdirrahman? Ia menjawab: hal itu terjadi jika para qurra (pembaca dan penghapal Al Quran) kalian banyak, namun sedikit ulama sejati kalian, para pemimpin kalian banyak, namun sedikit mereka yang jujur dan amanah, engkau mencari dunia dengan amal akhirat, dan mempelajari agama bukan untuk tujuan agama[36].
            Sufyan bin `Uyaynah berkata: Kami mendapat berita bahwa Ibnu Abbas berkata: kalau para penghapal Al Quran mengambilnya dengan haknya dan apa yang seharusnya, niscaya mereka akan dicintai oleh Allah SWT. Namun mereka mencari dunia dengan Al Quran itu, sehingga Allah SWT marah terhadap mereka, dan merekapun menjadi hina di hadapan manusia.
            Diriwayatkan dari Abu Ja`far bin Ali dalam firman Allah SWT:
Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.” ( Asy Syu`araa: 94), ia berkata: mereka adalah kaum yang menceritakan kebenaran dan keadilan dengan lidah mereka, namun mereka justru melakukan yang sebaliknya!.




3. Kewajiban-kewajiban Intelektual dan Keimanan bagi Penghapal Al Quran.

            Al Qurthubi berkata dalam “Bab tentang Apa yang Seharusnya Dilakukan oleh Penghapal Al Quran bagi Dirinya, dan Tidak Melalaikannya”.
            Yang pertama adalah: agar ikhlas dalam menuntut ilmu seperti telah kami katakan sebelumnya, dan agar membaca Al Quran pada malam dan siang hari, dalam shalat dan di luarnya, hingga ia tidak melupakannya.
            Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: 
Orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang diikat, jika ia memperhatikan dan menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia biarkan maka ia seger pergi 96, dan jika seorang penghapal Al Quran membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingatnya, dan jika tidak maka ia segera melupakannya “.
            Dan ia harus memuji Allah SWT, mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, berdzikir kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, meminta tolong kepada-Nya, bertujuan untuk-Nya, meminta penjagaan kepada-Nya dan mengingat kematian serta mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu.
            Ia harus mengkhawatirkan dosanya, meminta ampunan kepada Rabb-nya, dan hendaknya perasaan takut dalam keadaan sehat lebih ia rasakan, karena ia tidak tahu kapan akan menemui ajalnya, dan harapan kepada Rabb-nya saat ia menemui ajal hendaknya lebih kuat dalam dirinya, dan berperasangka baik kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: 
Tidak mati seseorang dari kalian, kecuali ia berperasangka baik kepada Allah SWT”[37]. Maksudnya, prasangka bahwa Dia akan mengasihinya serta memberikan ampunan kepadanya.
            Hendaknya ia mengetahui penguasa pada masanya, menjaga diri dari kekuasaannya, berusaha untuk menjauhkan dirinya dari penguasa itu, dan menjaga kelurusan hidupnya, serta menjauhkan dirinya sedapat mungkin dari godaan dunianya, dan ia berusaha keras dalam hal itu sekuat tenaga.
            Dan hendaknya perkaranya yang paling penting adalah wara` dalam agamanya, bertaqwa kepada Allah SWT, dan memperhatikan perintah dan larangan Allah SWT.
Ibnu Mas`ud berkata: pembaca Al Quran hendaknya mengetahui malamnya saat manusia tidur, dan siangnya saat manusia bangun, dengan tangisnya saat manusia tertawa, dengan diamnya saat manusia ribut, dengan kekhusyu`annya saat manusia gelisah, serta dengan kesedihannya saat manusa gembira ria.
Abdullah bin Amru berkata: tidak seharusnya seorang penghapal Al Quran ikut larut bersama orang lain saat mereka tenggelam dalam dunia, tidak turut bodoh bersama orang bodoh, namun ia memberi maaf bagi orang lain, dan menampilkan dirinya dengan lembut dan berwibawa.
Ia harus bertawadhu` terhadap para fakir miskin, menjauhkan takabbur dan memuji diri sendiri, menjauhi dunia dan anak-anak dunia jika ia takut terhadap fitnah, meninggalkan pertengkaran dan perdebatan, serta bersikap lembut dan berakhlak mulia.
Ia harus menjadi orang yang tidak menimbulkan kejahatan, kebaikannya diharapkan, tidak membuat kerusakan, tidak memperdulikan orang yang mengadu dombanya, bersahabat dengan orang yang membantunya dalam melakukan kebaikan, yang menunjukkannya kepada kejujuran dan akhlak yang mulia, serta yang menghiasi dirinya bukan mengotorinya.
   Hendaknya ia mempelajari hukum-hukum Al Quran dan meminta pemahaman dari Allah SWT akan keinginan-Nya dan kewajiban yang harus ia jalankan, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari apa yang ia baca, mengerjakan apa yang baca, karena bagaimana mungkin ia mengamalkan sesuatu yang ia tidak pahami? Dan alangkah buruknya orang yang ditanyakan tentang apa yang ia baca namun ia tidak tahu. Jika demikian maka ia seperti kuda yang membawa kitab-kitab besar (namun tidak memahami sedikitpun isi kitab-kitab itu)!
Ia harus mengetahui bagian Al Quran Makiah dan Madaniah, sehingga ia mengetahui mana yang ditujukan kepada manusia pada awal Islam, dan mana yang diturunkan pada akhir masa kenabian, apa yang diwajibkan oleh Allah SWT pada awal Islam, dan apa yang ditambah kemudian dari kewajiban-kewajiban itu pada masa akhir kenabian. Bagian Madaniah adalah pengganti bagian Makiah, dan bagian Makiah tidak mungkin menjadi pengganti bagian Madaniah. Karena yang terhapus (tergantikan) dari ayat-ayat itu adalah apa yang diturunkan sebelum ayat pengganti (nasikh).
Al Qurthubi berkata: jika point-point tadi telah dikuasai oleh penghapal Al Quran, maka ia menjadi oryang ahli Al Quran, dan ia menjadi orang yang dekat Allah SWT. Ia tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang kami sebutkan sebelumnya hingga ia mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT semata, baik saat ia menuntut ilmu maupun setelahnya. Seorang penuntut ilmu dapat saja memulia pencariannya itu dengan tujuan untuk kebanggaan dan kemuliaan dunia, hingga akhirnya ia mengetahui kesalahan niatnya itu, maka ia bertaubat dari hal itu dan mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT, dan iapun dapat mengambil manfaat darinya dan memperbaiki perilakunya. Al Hasan berkata: kami sebelumnya menuntut ilmu karena dunia, namun kemudian kami tarik diri kami ke akhirat. Sufyan Tsauri juga berkata seperti itu. sementara Habib bin Abi Tsabit berkata: Kami menuntut ilmu tidak disertai niat, kemudian datang niat itu setelahnya[38].

Mengajarkan Al Quran

            Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
Sepaling baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”.
            Al Quran adalah objek yang paling utama untuk dipelajari dan diajarkan.
            Zarkasyi berkata dalam kitabnya “Al Burhan”: “Para ulama sahabat kami mengatakan: mengajarkan Al Quran adalah fardhu kifayah, demikian juga menghapalnya, adalah wajib bagi umat Islam. Makna kewajiban itu –seperti dikatakan oleh Al Juwaini— adalah agar jumlah mata rantai berita mutawatir tidak terputus, dan tidak terjadi penggantian dan perubahan terhadap Al Quran. Jika sebagian orang mengerjakan kewajiban itu, maka kewajiban itu terbebas bagi yang lainnya. Jika tidak, maka semua umat Islam mendapatkan dosa. Jika dalam suatu negeri atau kampung tidak ada yang membaca Al Quran, maka semua penduduk negeri itu mendapatkan dosa. Jika ada sekelompok orang yang dapat mengajarkan Al Quran, kemudian ia diminta untuk mengajar, namun ia menolak, ia tidak berdosa menurut pendapat yang paling sahih. Seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab At Tibyan. Bentuk masalah ini adalah: jika sesuatu maslahat tidak hilang dengan penundaan itu maka ia dapat menolak. Sementara jika hilang, maka ia tidak boleh menolak permintaan itu[39].
            Namun, apa yang yang dimaksud dengan mempelajari dan mengajarkan Al Quran?
            Yang dimaksud adalah: menghapal kata-kata dan huruf-huruf Al Quran dalam hati. Ini adalah tugas yang dilakukan oleh katatib (pondok-pondok penghapal Al Quran) pada masa lalu, dan sebagiannya masih ada hingga saat ini, sementara saat ini tugas itu dilakukan oleh sekolah tahfizh Al Quran.
            Itu dapat masuk dalam pengertian belajar dan mengajarkan Al Quran. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa inilah yang dimaksud itu, bukan lainnya. Barangkali inilah rahasia mengapa orang amat memberikan perhatian terhadap penghapalan Al Quran, memuliakan para penghapalnya, dan menyiapkan hadiah serta pemberian uang yang banyak bagi para penghapal Al Quran. Sehingga ada sebagian penghapal Al Quran yang mendapatkan hadiah dalam musabaqah yang diselenggarakan di Qathar sebesar lima puluh ribu rial, di tambah mobil yang lebih mahal dari jumlah itu. dan pada tahun kedua ia mendapatkan hadiah yang hampir sama dengan itu!
            Kecenderungan seperti inilah yang mendorong kami untuk mengkritik dalam buku-ku “Fi Fiqh al Awlawiyaat”, yaitu ketika saat ini tindakan menghapal Al Quran lebih dilihat penting dibandingkan dengan usaha untuk memahaminya. Para penghapal lebih dihormati dan lebih diperhatikan dibandingkan para faqih (ahli agama).
            Al Quran mendefinisikan tugas Nabi Saw adalah: “mengajarkan Al Quran dan Hikmah”, dalam empat ayat Al Quran[40]. Dan tentunya yang dimaksudkan dengan “mengajarkan” ini bukan “mengajarkan menghapal”, dengan dalil perintah itu diiringi dengan tugas membacakan ayat-ayat Al Quran kepada mereka:
Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah.” (Ali Imran: 164). Maka mengajar lebih khusus dari membaca.
            Belajar dan mengajar inilah yang diungkapkan oleh sebagian hadits sebagai “tadaarus”.
            Dalam sahih Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
Setiap sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah, dan  mentadaruskan Al Quran di antara mereka, maka ketenangan akan diturunkan kepada mereka, dan mereka akan dipenuhi oleh rahmat Allah, dikelilingi para Malaikat,  dan Allah SWT akan mengingat dan menyebut mereka yang hadir di majlis itu” [41].
            Makna tadarus Al Quran adalah: berusaha untuk mengetahui lafazh-lafazh dan redaksinya, pemahaman dan maknanya, serta ibrah yang dikandungnya, serta hukum-hukum dan etika yang diajarkannya.
            At Tadarus” adalah wazan tafa`ul dari ad dars, maknanya adalah: salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, dan pihak lainnya menjawab pertanyaan itu, pihak ketiga mengkaji lebih lanjut, dan pihak selanjunya berusaha mengoreksi atau melengkapinya. Inilah yang dimaksud dengan tadarus.
            Tadarus inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama utusan wahyu Jibril a.s. pada bulan Ramadhan setiap tahun. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas s.a., saat Jibril turun kepada Rasulullah SAW, dan mentadaruskan Al Quran bersama beliau[42].
            Mudarasah (pengkajian) Al Quran yang paling baik adalah yang dilakukan oleh dua pihak utusan Allah SWT yang mulia: utusan Allah SWT dari langit, dan utusan Allah SWT di bumi!.
            Dalam mempelajari Al Quran tidak cukup hanya dengan menghapal baris-barisnya, dan mengingat ayat-ayatnya, kemudian tidak memahami maknanya, meskipun tetap mendapatkan pahala dengan sekadar mengingat dan menghapalnya, sesuai dengan niatnya. Namun seharusnya ia berusaha untuk memahami –semampunya— apa yang diinginkan oleh Allah SWT darinya, sesuai kadar kemampuan daya tangkapnya:
Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (Ar Raad: 17).
            Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh `Uqbah bin Amir r.a., ia berkata: Rasulullah SAW keluar kepada kami saat kami berada di ash shuffah[43], dan bersabda:
Siapa yang mau pergi pada pagi hari setiap hari ke daerah Buthhan –Atau ke Aqiq—kemudian mengambil dua unta yang gemuk dari sana, tanpa melakukan dosa atau membuat putus hubungan silaturahmi”?  Kami menjawab: Wahai Rasulullah Saw, kami semua mau melakukan itu. Beliau bersabda: “Bukankah jika salah seorang kalian pergi ke mesjid pada pagi hari dan mempelajari –atau membaca— dua ayat dari Kitab Allah SWT lebih baik baginya dua unta, dan tiga ayat lebih baik dari tiga unta, empat ayat lebih baik dari empat unta, dan dari bilangan ayat-ayat itu lebih baik dari sejumlah unta  dengan bilangan yang sama?!” [44].
            Bath-han adalah tempat dekat Madinah. Aqiq adalah lembah Madinah. Sementara Al Kauma adalah unta besar yang gemuk.
            Aku kira mempelajari dua tiga atau empat ayat di sini: tidak berarti menghapalkan huruf-hurufnya saja, namun yang dimaksud adalah mempelajari kandungan ilmu dan amalnya sekaligus. Oleh karena itu hadits itu mengurangi bilangannya, sehingga dapat dipahamai dan amalkan dengan lebih mudah.
            Inilah cara para sahabat r.a. dalam mempelajari Al Quran. Seperti telah kami jelaskan sebelumnya. Dan dengan cara seperti ini, ayat yang dipelajari oleh seorang Muslim akan menjadi cahaya dan bukti baginya pada hari kiamat. Seperti diriwayatkan oleh Abu Umambahwa Rasulullah SAW bersabda:
Siapa yang mempelajari satu ayat dari Kitab Allah, niscaya ayat itu akan menyambutnya pada hari Kiamat sambil tertawa di hadapannya” [45].

Tentang Mengambil Upah dalam Mengajarkan Al Quran.
            Para ulama berselisih pendapat tentang boleh tidaknya mengambil upah dari mengajarkan Al Quran. Sebagian ulama berpendapat: boleh mengambil upah dari mengajarkan Al Quran. Karena dalam sahih Bukhari diriwayatkan hadits:            
Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajar Kitab Allah” [46]. Dan ada yang mengatakan: jika ditentukan jumlahnya, maka tidak boleh. Pendapat ini dipilih oleh Al Halimi.
            Abu Laits berkata dalam kitab “Al Bustan”[47]:
            Mengajar dilakukan dengan tiga bentuk: pertama dengan tujuan untuk beribadah saja, dan tidak mengambil upah. Kedua: mengajar dengan mengambil upah. Ketiga: mengajar tanpa syarat, dan jika ia diberikan hadiah ia menerimanya.
            Yang pertama: mendapatkan pahala dari Allah SWT, karena itu adalah amal para Nabi a.s.
            Kedua: diperselisihkan. Sebagian ulama mengatakan: tidak boleh, dengan dalil sabda Rasulullah SAW:
Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” [48].  Sementara sebagian ulama lain berkata: boleh. Mereka berkata: yang paling utama bagi seorang pengajar adalah tidak menentukan bayaran untuk menghapal dan mengajarkan baca tulis, dan jikapun ia menentukan bayaran itu maka aku harapkan agar tidak dilarang, karena ia membutuhkannya.
            Sedangkan yang ketiga: dibolehkan oleh seluruh ulama. Karena Nabi Saw adalah pengajar manusia, dan beliau menerima hadiah mereka. Dan dengan dalil tentang seseorang yang tersengat hewan berbisa, kemudian dibacakan surah Al Fatihah oleh sebagian sahabat, dan orang itu selanjutnya memberikan hadiah beberapa ekor kambing atas perbuatan sahabat itu, dan setelah mengetahui itu Nabi Muhammad Saw bersabda:
Berikanlah aku bagian dari hadiah itu “[49]. Selesai[50].
            Dalam hadits lain Rasulullah SAW membolehkan pengajaran itu dijadikan sebagai mas kawin bagi seorang wanita. Yaitu saat Nabi Muhammad Saw memerintahkan sahabat itu untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan mas kawin bagi sahabat itu, hingga sebentuk cincin dari besi sekalipun. Kemudian Rasulullah SAW menanyakan surah apa yang ia bisa. Ia memberitahukan beberapa surah yang ia hapal. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat itu:
Pergilah, aku telah sahkan perkawinanmu dengan mas kawin mengajarkan Al Quran yang engkau hapal” [51]. Artinya dengan pengajaran Al Quran yang engkau lakukan kepada wanita itu.
            Ini semua adalah dalam masalah pengajaran Al Quran. Sedangkan membacanya tidak boleh menarik upah, karena hukum asal dalam membacanya adalah ibadah, dan dasar bagi seorang yang beribadah adalah agar ia beribadah bagi dirinya, maka bagaimana mungkin ia kemudian mengambil upah kepada orang lain dari ibadah yang ia lakukan kepada Rabb-nya, sementara ia mengerjakan itu semata untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT?!
            Abdurrahman bin Syibl meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda:
Bacalah Al Quran, amalkanlah isinya, jangan kalian menjauh darinya, jangan berlaku khianat padanya, jangan makan dengannya, dan jangan mencari kekayaan dengannya” [52].
            Imran bin Husain meriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw beliau bersabda:
Bacalah Al Quran dan mintalah kepada Allah SWT dengan Al Quran itu, sebelum datang kelompok manusia yang membaca Al Quran, kemudian meminta kepada manusia dengan Al Quran” [53].
            Sedangkan jika pembaca Al Quran diberikan sesuatu sadaqah, atau pemberian, maka tidak mengapa jika ia menerimanya, insya Allah.




[1] Penegasan itu tampak dalam penggunaan jumlah ismiyyah (redaksional dengan kata benda) dan dalam kata “inna” serta lam dalam khabar “lahaafizhuun”.
[2]  Yaitu siswa Badri Abu Zaid dari propinsi Asyuth.
[3]  Beberapa bulan yang lalu ada seorang anak dari Iran –yang baru berumur tujuh tahun— yang menjadi fenomena dalam menghapal Al Quran al Karim. Yaitu As Sayyid Muhammad Husain Ath Thababai. Ia telah mengunjungi Qathar pada bulan Muharram tahun 1419 H (Mei 1998 M). Ia menampilkan hapalannya dan pemahamannya terhadap Al Quran dengan mencengangkan semua orang. Ia telah mengunjungiku bersama orang tuanya disertai duta besar Iran  di Doha,  aku kemudian  menguji hapalan dan pemahamannya, ternyata memang betul mengagumkan.
[4]  Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dari Ibnu Abbas (2914), ia berkata: hadits ini hasan sahih.
[5]  Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia menilainya hadits hasan (2879), dan lafazh itu darinya. Serta oleh Ibnu Majah secara ringkas (217), Ibnu Khuzaimah (1509), Ibnu Hibban dalam sahihnya (Al Ihsaan 2126), dan dalam sanadnya ada `Atha, Maula Abi Ahmad, yang tidak dinilai terpercaya kecuali oleh Ibnu Hibban.
[6]  Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dan ia menilainya hadits hasan (2916), Ibnu Khuzaimah, al hakim, ia menilainya hadits sahih, serta disetujui oleh Adz Dzahabi (1/553).
[7] Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim dan ia menilanya sahih berdasarkan syarat Muslim (1/568), dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (21872) dan Ad Darimi dalam Sunannya (3257), penj.
[8]  Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Ibnu Mas`ud secara Mauquf. Ia  berkata: sebagian mereka memarfu`kannya, demikian juga dikatakan oleh Adz Dzahabi (1/566). 
[9]  Para berselisih pendapat tentang siapa namanya. Ibnu Hajar berkata: aku kemudian mendapatkan pada Ibnu Abi Daud yang menghilangkan kesulitan ini, karena ia meriwayatkannya dengan sanad sesuai syarat Bukhari kepada Tsumamah dari Anas: bahwa Abu Zaiad yang mengumpulkan Al Quran itu, namanya adalah: Qias bin As Sakan. Ia berkata: Ia adalah seorang lelaki dari kami, dari Bani Adi bin an Najjar, salah seorang anak pamanku, dan ia meninggalkan tanpa mempunyai keturunan, kemudian kami mewariskannya. Selesai. Ia adalah salah seorang anggota Bai`at Aqabah dan pahlawan perang Badar. Lihat: Al Itqaan (2/203).
[10]  Lihat kitab Al Itqaan karya as Suyuthi juz 1/199-201, tahqiq Muhammad Abu al Fadhl Ibraahim.
[11]  Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim serta para pemilik Sunan dari Abi Mas`ud. Sahih Jami Ash Shagir (8011).
[12]  Al Itqaan (1/201).
[13]  Ibid (1/202-203).
[14] Hadits diriwayatkan dengan lafazh ini oleh At Tirmizi dalam Tsawab al Baqarah (2780). Ia berkata: hadits ini hasan sahih. Dan Muslim meriwayatkan dengan lafazh:
 إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ
Syaitan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surah Al Baqarah  “.  Hadits (780).
[15] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalat al Musafirin, bab Fadhlu al Quran wa Surah al Baqarah, dengan nomor 804.
[16]   Al Haitsami berkata dalam kitab Majma` Az Zawaid: Hadits diriwayatkan oleh Ath Thabrani dengan beberapa sanad, dan para periwayat jalan ini adalah sahih (7/164). Catatan penerjemah: Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Umamah Al Bahili (1337),  Ahmad dalam Musnadnya dengan beberapa sanad, dan ad Darimi  (3257).
[17] Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Fadhail al Quran, dan ia menilai sahih isnadnya (1/561), serta disetujui oleh Adz Dzahabi. Ia meriwayatkannya secara marfu. Catatan penerjemah:  sementara At Tirmizi dalam Fhadhail al Quran dari Abi Hurairah (2803), Ahmad  dalam  Musnadnya dari  Abi Ma`qil bin Yasar (19415) dan Darimi dalam sunannya dari  Abdullah (3243), meriwayatkannya secara muttashil.
[18] Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan An Nasai dalam “ Al Kubra” serta Ibnu Majah (215), al Hakim (1/556. Lihat: Sahih al Jami` ash Shagir (2165).
[19]  Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (452). Juga Al Muntaqa min at Targhib wa at Tarhib, dan hadits (794).
[20]  Lihat: Al Lu’lu wa al Marjaan (453), juga al Muntaqa. Hadits (795).
[21]  Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (454).
[22] Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud (461).
[23] Hadits diriwayatkan oleh oleh Abu Daud dalam Ash Shalat (1744), dengan lafazh yang sama: bab At Tasydid fi man Hafazha al Quran tsumma nasiahu.
[24]  At Tirmizi mengutip dari Al Bukhari: bahwa Al Muthallib bin Abdullah bin Hanthab –perawi hadits—tidak mendengar langsung dari seorang sahabatpun. Dan seterusnya. Lihat: hadits non (2917), dalam Tirmizi, dan hadits no. (461) dalam Abi Daud. Ibnu Jauzi menyebutnya dalam Al `Ilal al Mutanahiah, dengan no. (158).  Dikutip dari Ad Daruquthni: bahwa hadits itu tidak tsabit (tidak kuat) karena Ibnu Juraij tidak mendengar sesuatupun dari Al Muthallib (juz 1/109). Al Munziri juga mengatakan bahwa dalam sanadnya ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Ruwad, yang dinilai kuat oleh Yahya bin Ma`in serta diperselisihkan oleh banyak orang. Mukhtashar as Sunan. Hadits 433 (1/259).  
[25]  Mukhtashar as Sunan. Hadits 1422 (juz 2/139).
[26] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalat al Musafirin (746).
[27] Hadits diriwayatkan oleh al Hakim dan ia menilai sahih sanadnya, dan itu disetujui oleh Adz Dzahabi (1/552).
[28]  Atsar ini disebut oleh Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.
[29]  Lihat Al Bidayah wa Nihayah, karyat Ibnu Katsir juz 6/324. Cet. Beirut.
[30]  Lihat: Al Mushannaf-al Atsar (6027) ia terdapat dalam Musnad Ahmad dai As Sulami: kami diceritakan oleh orang yang meriwayatkan hadits kepada kami dari kalangan sahabat Rasulullah Saw: bahwa mereka  mengambil dari Rasulullah Saw sepuluh ayat Al Quran, dan tidak mengambil sepuluh ayat yang  lain, hingga mengetahui ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat itu. ia berkata: maka Rasulullah Saw mengajarkan kami ilmu dan amal sekaligus. Al Haitsami berkata: di dalam riwayat itu ada Atha bin Saib, ia hapalannya telah bercampur dan kacau (1:65).
[31]  Seluruh atsar ini disebutkan oleh Al Qurthubi dalam muqaddimah tafsirnya (1/34-35).
[32] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Al Imarah (1905) dan Tirmizi dalam Az Zuhd (2382), ia berkata: hadits ini hasan gharib.  Catatan penerjemah: hadits ini juga diriwayatkan oleh An Nasai dalam kitab Al Jihad (3086), dan Ahmad dalam musnadnya (7928). 
[33] Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam muqaddimah sunannya (258), Tirmizi dalam al Ilmu (2657). Dan ia berkata: hadits ini hasan gharib, keduanya dari Ibnu Umar.
[34] Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dalam al Ilmu (3664), Ibnu Majah dalam muqaddimah  sunannya (252). Aku tidak temukan dalam Tirmizi, meskipun al Munziri juga menisbahkannya kepada Tirmizi dalam kitab Mukhtashar Sunan. 
[35] Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dalam Az Zuhd (2384). Ia berkata tentang hadits ini: hasan gharib, dan oleh Ibnu Majah dalam al Muqaddimah (256).
[36]  Al Munziri berkata dalam At Targhiib: diriwayatkan oleh Abdurrazaq secara mauquf.
[37]  Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al Jannah wa Shifaatu Na`imiha (2877).
[38]  Muqaddimah tafsir al Qurthuby juz 1 hal 14-19, cet. Dar al Kutub al Mishriyyah.
[39]  Al Burhan juz 1/456
[40]  Yaitu Surah al Baqarah: 129, 151. Surah Ali Imran: 164. Dan surah Al Jumu`ah: 2. 
[41] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr (2699).
[42] Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas.
[43] Shuffah adalah sebuah tempat yang berada di beranda masjid, yang dipergunakan sebagai tempat berdiam para sahabat muhajirin yang fakir miskin. Di antara mereka adalah sahabat Abu Hurairah r.a. Dan dengan kedekatan tempat mereka, terutama Abu Hurairah, dengan kediaman Rasulullah Saw –yang bertempat tinggal di samping masjid Nabawi—, ditambah dengan perhatian mereka yang hanya difokuskan untuk menerima dan mengakumulasi ajaran-ajaran dan sabda-sabda Rasulullah Saw, tanpa diganggu oleh aktivitas yang lain, Abu Huraiah r.a. menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi.  Dan faktor yang terpenting lainnya adalah do`a Nabi Saw yang dikhusukan bagi Abu Hurairah r.a. agar dikuatkan hapalannya. penj.
[44] Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalat al Musafirin (803). Catatan penerjemah: hadits ini juag diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya (16767), dan Abu Daud dalam sunannya (1244). 
[45]  Al Haitsami berkata dalam Majma az Zawaaid (7/161): hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani, dan para perawinya tsiqaat.
[46]  Dalam kitab Ath Thibb, dari hadits Ibnu Abbas.
[47]  Yaitu Bustan al Arifin karya Abi Laits Nashr bin Muhammad As Samarqandi, wafat pada tahun 375 H, dalam hadits-hadits yang terdapat dalam Etika-etika menurut syari`ah, serta perilaku-perilaku yang terpuji dan sebagian hukum cabang. (Kasyfu azh Zhunnun 243).
[48] Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Tirmizi dari Abdullah bin Amru, seperti terdapat dalam Sahih Jami Shagir dan tambahannya (2837).
[49]  Sahih Bukhari: Kitab ath Thibb, dari hadits Ibnu Abbas.
[50]  Al Burhan karya Az Zarkayi juz 1/457/458.
[51]   Hadits muttafaq alaih, seperti terdapat dalam Al Lu’lu wa al Marjan (898).
[52]  Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Abu Ya`laa dan Baihaqi dalam Asy Sya`b, dan Ath Thahawi serta yang lainnya, seperti terdapat dalam Sahih Jami` Shagir dan tambahannya (1168). 
[53]  Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dan Baihaqi dalam Asy Sya`b, seperti terdapat dalam sumber di atas  (1169).

Tidak ada komentar