Berpuasa Bagi Musafir ( 2 -Habis )

Berpuasa Bagi Musafir ( 2 -Habis )
Mukaddimah

Pada bagian yang lalu, kita telah mengkaji hadits-hadits seputar berpuasa bagi musafir, yaitu hadits-hadits yang intinya membolehkan berpuasa.
Dan sebagai yang telah kami janjikan, bahwa pada kajian kali ini kita akan membahas hadits seputar perbedaan pendapat di kalangan ulama berkenaan dengan hal itu.
Semoga bermanfa'at.
Dari Abi ad-Dardâ` radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada bulan Ramadlan saat temperatur sedemikian panas, hingga membuat salah seorang diantara kami sampai meletakkan tangannya diatas kepalanya saking panasnya. Dan tidak ada seorang diantara kami yang berpuasa selain Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah." (HR.Muslim)

Makna Global

Pada bulan Ramadlan, di hari-hari yang demikian panas, Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam keluar bersama para shahabatnya. Karena temperatur yang demikian panas tersebut, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berpuasa selain Nabi dan 'Abdullah bin Rawahah al-Anshoriy radliyallâhu 'anhu.
Mereka berdua sanggup menahan panas tersebut dan berpuasa.

Kandungan Hadits

Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan sekalipun kondisinya sangat sulit bahkan sampai membuat badan celaka.
Dari Jabir bin 'Abdullah radliyallâhu 'anhum, dia berkata, Pernah dalma satu perjalanan, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam melihat desak-desakan dan seorang laki-laki yang dinaungi (dipayungi), lalu beliau bersabda, "Ada apa dengan orang ini?." Mereka menjawab, "Dia sedang berpuasa." Beliau bersabda, "Bukanlah termasuk 'Birr' (kebajikan) berpuasa di dalam perjalanan." (HR.Bukhari)
Dalam riwayat Muslim disebutkan (sabda beliau), "Hendaklah kalian mengambil rukhshoh (dispensasi/keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kalian."
(HR.Muslim)

Makna Global

Pada salah satu perjalanannya, Rasulullah pernah melihat manusia saling berdesak-desakan dan seorang laki-laki yang dipayungi, maka beliau bertanya kepada mereka perihal orang tersebut. Mereka menjawab bahwa dia sedang berpuasa dan dahaga sedemikan mencekik dirinya. Maka beliau yang demikian pengasih dan mulia hatinya bersabda, "Sesungguhnya berpuasa di dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi hendaknya kalian mengambil rukhshoh yang Allah berikan kepada kalian." Karena Allah Ta'ala tidak menghendaki untuk menyiksa kalian manakala kalian beribadah kepadanya.

Pelajaran Dari Hadits

Diantara pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini:
1. Kebolehan berpuasa di dalam perjalanan dan kebolehan mengambil rukhshoh juga, yaitu dengan berbuka (tidak berpuasa)
2. Berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk perbuatan kebajikan akan tetapi yang mengerjakannya mendapatkan pahala dan telah gugurlah kewajibannya
3. Bahwa yang lebih utama adalah memilih rukhshoh-rukhshoh yang telah diberikan Allah, yang dengannya beban para hamba menjadi ringan.

Pendapat Para Ulama

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum berpuasa di dalam perjalanan. Setidaknya, ada dua pendapat:

I. Menyatakan harus berbuka (tidak puasa)

Sebagian ulama Salaf sangat keras berpendapat bahwa bilamana seorang Musafir berpuasa, maka puasanya tersebut tidak mendapatkan pahala apa-apa. Ini adalah pendapat Imam az-Zuhriy, an-Nakha'iy. Pendapat ini juga diriwayatkan dari para shahabat seperti 'Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah dan Ibn 'Umar serta merupakan madzhab Ahli Zhahir.

Dalil
  • Firman Allah Ta'ala dalam surat al-Baqarah, ayat 185, yaitu (artinya),
    "Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
    Arahan ayat:
    Mereka berkata bahwa dalam ayat ini Alllah tidak mewajibkan puasa kecuali atas orang yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) dan telah mewajibkan atas orang yang sakit dan Musafir pada hari-hari yang lain.
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pernah keluar pada tahun penaklukan Mekkah ('Am al-Fath) di bulan Ramadlan. Ketika itu beliau berpuasa hingga sampai di suatu tempat bernama Kirâ' al-Ghamîm. Orang-orang yang ikut serta ketika itu juga berpuasa. Kemudian beliau mengambil sebuah bejana air, lalu mengangkatnya hingga orang-orang melihatnya, kemudian beliau meminumnya. Setelah itu, ada yang bertanya, "Sesungguhnya ada sebagian orang di sini yang masing berpuasa."
    Maka beliau menjawab, "Mereka itulah para pembangkang (pelaku maksiat karena menentang Rasulullah), mereka itulah para pembangkang."
    Dalam hadits ini, beliau menyatakan "mereka itulah para pembangkang" karena tindakan mereka berpuasa.
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhariy dari Jabir, di dalamnya disebutkan "Bukanlah termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."
II. Boleh berpuasa ataupun tidak berpuasa.

Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ulama, diantaranya ulama Empat Madzhab.
Dalil
Jumhur ulama juga mengemukakan dalil-dalil yang kuat, diantaranya hadits-hadits yang telah kita bahas:
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Hamzah al-Aslamiy, "Jika kamu mau, silahkan berpuasa dan jika kamu mau, silahkan berbuka."
     
  • Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, "Kami pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam namun tidak ada orang yang berpuasa mencela orang yang tidak berpuasa, demikian juga tidak ada orang yang tidak berpuasa mencela orang yang berpuasa."
     
  • Hadits Abu Dardâ` diatas, yang menyatakan bahwa Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah tetap berpuasa.
Bantahan Mereka Terhadap Pendapat Pertama
  • Terhadap argumentasi dengan ayat diatas, orang yang karenanya ayat tersebut turun (alias Rasulullah) sesudah turunnya ayat tersebut juga pernah berpuasa sementara beliau adalah manusia yang paling mengetahui maknanya. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa maknanya bukan seperti yang kalian sebutkan itu.

    Kebanyakan para ulama menyebutkan bahwa di dalam ayat tersebut ada yang dbuang (tidak dinampakkan), seharusnya ada kata "lalu ia berbuka (tidak puasa)". Jadi, bunyinya, "…dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka)…" (Dalam hal ini, persis seperti pada terjemah al-Qur'an oleh DEPAG-red.,)
     
  • Adapun argumentasi mereka dengan sabda Rasulullah, "Mereka itulah para pembangkang" , maka hal itu merupakan kondisi khusus, yaitu terhadap orang-orang yang merasa kesulitan untuk meneruskan puasa sehingga beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pun berbuka agar mereka mengikuti beliau namun mereka tidak mau, maka disabdakanlah demikian karena ketidakmauan mereka mengikuti tuntunan beliau.
     
  • Adapun jawaban terhadap hadits, "Bukan termasuk kebajikan berpuasa di dalam perjalanan", maka maknanya adalah bahwa berpuasa di dalam perjalanan bukan termasuk kebajikan yang dimaksudkan untuk berlomba-lomba di dalamnya. Alias bila ingin berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan kondisi dalam perjalanan ini tempatnya.
    Sebab bisa jadi berbuka (tidak berpuasa) di dalam perjalanan adalah lebih utama bila di sana terdapat kesulitan atau ia dapat membantu untuk berjihad sementara Allah suka bila rukhshoh-rukhshoh yang diberikannya diambil oleh hamba-Nya sebagaimana Dia benci bilamana perbuatan-perbuatan maksiat dilakukan terhadap-Nya.
Masalah: Mana Yang Lebih Utama, Berpuasa atau Berbuka?

Setelah sependapat dalam hal kebolehan berpuasa atau tidak berpuasa di dalam perjalanan, Jumhur ulama berbeda pendapat seputar; mana yang lebih utama, berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa)?

Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
  • Menyatakan bahwa berpuasa lebih utama bagi orang yang mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan
    Ini merupakan pendapat tiga imam madzhab, yaitu Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi'iy

    Dalil

    Ada beberapa hadits, diantaranya:
    - Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Salamah bin al-Muhbiq dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam, beliau bersabda (artinya), "Barangsiapa yang memiliki kendaraan yang menyebabkannya dalam kondisi kenyang (tidak mendapatkan kesulitan apapun), maka hendaklah dia berpuasa kapanpun dia mendapatkannya."
     
  • Menyatakan bahwa berbuka di bulan Ramadlan adalah lebih utama sekalipun tidak mendapatkan kesulitan di dalam perjalanan.
    Ini adalah pendapat Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat Sa'id bin al-Musayyib, al-Awza'iy dan Ishaq bin Rahawaih.

    Dalil

    Mereka berdalil dengan hadits-hadits:
    1. Hadits yang kita bahas, "Bukan termasuk kebajikan, berpuasa di dalam perjalanan."
    2. hadits, "Sesungguhnya Allah suka bila rukhshoh-rukhshohnya dijalankan."
FAEDAH

Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan standar perjalanan yang dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) dan meringkas shalat (Qashar).

Pendapat yang tepat adalah bahwa tidak ada standar khusus sebagaimana yang biasa disebutkan oleh para ulama karena tidak satupun ada dalil yang menguatkan hal itu, yang berasal dari asy-Syâri' (Allah Ta'ala).

Allah Ta'ala bahkan telah menyebutkan kata Safar (bepergian/perjalanan) secara mutlaq (tanpa mengait-ngaitkan dengan sesuatu) sehingga kita juga patut menjadikannya seperti itu.
Artinya, sesuatu yang dianggap sebagai Safar maka dibolehkan padanya rukhshoh-rukhshoh yang berkenaan dengan Safar tersebut.

(Diambil dari kitab Taysîr al-'Allâm Syarh 'Umdah al-Ahkâm karya Syaikh 'Abdullah Al-Bassam, Jld.I, h.426-430)

Tidak ada komentar