Prinsip-Prinsip yang Disepakati Ahli Sunnah wal Jamaah


Prinsip-Prinsip yang Disepakati Ahli Sunnah wal Jamaah

Ahli Sunnah wal Jamaah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi ciri dan inti akidahnya.
Inilah akidah golongan yang selamat hingga hari kiamat. Ahli Sunnah wal Jamaah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari berbangkit setelah mati, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk. (Juz 3: 129)

  1. Akidah Ahli Sunnah wal Jamaah tentang sifat-sifat Allah: membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya dan mensucikan-Nya tanpa mengingkari-Nya(itsbat bilaa takyif).
    Termasuk beriman kepada Allah mengimani sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya di dalam kitab-Nya dan yang disebutkan oleh Rasulullah, tanpa penyimpangan dan pengingkaran, tanpa menyerupakan-Nya dan menggambarkan-Nya dengan permisalan. Akan tetapapi, mereka merngimani bahwa tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy-Syura: 11)
    Ahli Sunnah wal Jamaah tidak menafikan apa-apa yang telah disifati Allah bagi diri-Nya, tidak menyimpangkan kalimat dari sebenarnya (tidak menyimpangkan makna ayat berkenaan dengan sifat-sifat-Nya sehingga maknanya tidak sesuai lagi dengan apa yang dikehendaki-Nya). Mereka juga tidak mengingkari asma-ama Allah, dan ayat-ayat-Nya, tidak memvisualisasikan dan menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sebab Allah tidak pantas untuk divisualisasikan dan disamakan dengan makhluk-Nya, dan tidak patut di qiyaskan dengan ciptaan-Nya, Dia Maha Suci. Allah lebih mengetahui akan diri-Nya dan di luar diri-Nya, yang paling benar perkataan-Nya, dan lebih bagus firman-Nya dari pada makhluk-Nya.
    Para rasul Allah yang benar dan dibenarkan perkataannya, berbeda dengan orang yang mengatakan tentang-Nya tanpa berdasarkan pengetahuan. Mengenai hal ini Allah berfirman yang artinya, "Maha Suci Rabbamu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam." (Ash-Shaffaat: 180-182)
    Allah SWT menyucikan diri-Nya dari sifat-sifat rekaan orang-orang yang menentang para Rasul. Dia memberi salam kepada para rasul karena kebersihan dan kejujuran perkataan mereka yang bebas dari kekurangan dan cacat. Allah telah menghimpun di dalam kitab-Nya apa-apa yang mesti ditolak dan mesti diterapkan mengenai sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu, pantang bagi Ahli Sunnah wal Jamaah untuk menyimpangkan segala sesuatu yang dibawa para Rasul, karena hal itulah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang yang telah diberi kenikmatan oleh Allah, jalan yang ditempauh para nabi, sidiqun, syuhada, dan orang-oran saleh. (Juz 3: 129-130)
  2. Ahli Sunnah wal Jamaah menetapkan akidah mereka tentang Alquran: Alquran adalah Kalamullah, bukan makhluk.
    Mazab salaf umat dan Ahli Sunnah wal Jamaah menandaskan bahwa Alquran adalah Kalamullah yang diturunkan, bukan diciptakan (makhluk). Alquran berasal dari Allah (ada permulaan) dan kembai kepada-Nya. Kebenaran ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw, "Bahwa Allah berkata-kata dengan suara, memanggil Adam dengan suara?." Kalimat-kalimat inilah yang diyakini oleh salaf umat dan imam-imam sunah (2: 401-402)
  3. Ahli Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapa pun di dalam kehidupan dunia.
    Seluruh ucapan yang didalamnya terdapat kalimat "Muhammad melihat Rabbnya dengan kedua matanya di bumi" adalah dusta menurut kesepakatan kaum muslimin dan ulama-ulama mereka.
    Ucapan seperti ini tidak diambil dari seorang ulama kaum muslimin mana pun, dan tak satu pun dari mereka yang meriwayatkan hal tersebut. Demikian pula bagi siapa saja yang mengklaim (mendakwakan) bahwa dia melihat Rabbnya sebelum dia mati. Maka dakwaannya itu tertolak (batil) berdasarkan kesepakatan Ahli Sunah wal Jamaah. Ahli sunah telah bersepakat seluruhnya bahwa tak satu pun dari orang-orang mukmin dapat mealihat Allah dengan kedua matanya di dunia. Hal ini dikuatkan oleh hadis sahih Muslim dari Nawwas ibnu Sam'an dari Nabi saw ketika dia menyebut Dajal, dia berkata, "Dan ketahuilah olehmu bahwa tak seorang pun dari kalian yang melihat Rabbnya sampai dia mati." (Juz 3: 386-389)
  4. Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbanya di surga dengan kedua mata mereka.
    Oran mukmin akan dapat melihat Allah dengan kedua mata di surga. Demikian juga manusia akan melihat-Nya di Padang Mahsyar pada hari kiamat sebagaimana diriwaytkan hadis Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab sahih, yang telah diterima oleh kaum salaf dan para imam terdahulu, serta telah disepakati oleh Ahli Sunah wal Jamaah.
    Namun demikian, hadis-hadis tersebut didustakan dan disimpangkan oleh golongan Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti paham mereka dari golongan Mu'tazilah, Rafidlah, dan sejenisnya. Mereka mendustakan sifat-sifat Allah berdasarkan ra'yu, termasuk mendustakan keterangan mengenai melihat Allah di surga, dan yang lainnya. Mereka tergolong orang yang ingkar dan seburuk-buruk makhluk. Dien Allah bersikap di tengah-tengah antara mendustakan berita-berita yang disampaikan Nabi di akhirat dengan membenarkan pendapat ektrem yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat oleh mata di dunia fana ini, karena kedua pendapat itu batil. Maksudnya, sikap islamiyah tidak mendustakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa orang mukmin akan melihat melihat Allah di dalam surga, dan tidak membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah melihat Allah di dunia.
    Mazab semua rasul dan yang mengikuti mereka orang-orang mukmin dan ahli kitab berkeyakinan bahwa Allah pencipta alam semesta, Rabb langit dan bumi beserta yang ada di antara keduanya, Rabbul 'Arsil 'Azhim, sementara semua mahluk ciptaan sebagai hamba-hamba-Nya yang bergantung kepada-Nya.
    Allah SWT berada di atas langit ciptaan-Nya, diantara 'Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, namun tetap bersama mereka di mana pun mereka berada. (Juz 3: 390-393)
  5. Ahli Sunnah wal Jamaah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah.
    Termausk beriman kepada hari akhir adalah mengimani berita yang disampikan Nabi perihal keadaan sesudah mati. Oleh karena itu, mereka mengimani adanya fitnah kubur, azab kubur, nikmat kubur, hingga terjadinya kiamat kubra saat semua ruh dikembalikan kepada jasad masing-masing. Pada saat itu manusia bangkit dari kubur mereka untuk menghadap Rabb yang menguasai alam ini dalam keadaan tanpa busana dan belum dikhitan. Matahari dekat sekali di atas kepala sehingga mereka bercucuran keringat karena sengatannya. Neraca keadilan pun dipasang untuk menimbang amalan para hamba-Nya. Kitab-kitab catatan amal dibentangkan, di antara mereka ada yang mengambilnya dengan tangan kanan, tangan kiri, atau dari belakang bunggung mereka. Allah menghisap amalan makhluk-Nya, menghadap hamba-Nya yang beriman, lalu mengakui dosa-dosa mereka sebagaiman tertulis dalam kitabullah dan sunah.
    Adapun amalan baik dan buruk yang dilaukan orang-orang kafir tidak dihisab, karena mereka tidak berhak mengklaim kebaikan-kebaikan mereka. Tidak ada kebaikan bagi mereka, tetapi amalan buruk mereka langsung dihitung dan dijumlah, kemudian mereka mengakuinya, mempertanggungjawabkannya, dan mendapat balasan sesuai dengan amlan tersebut.
    Di Padang Mahsyar terdapat Telaga Muhammad yang didatangi umatnya, juga terdapat jembatan Syirat yang dipasang di atas panggung jahanam. Manusia berjalan di atasnya sesuai dengan kadar amalannya masing-masing. Di antara mereka ada yang tersambar dan terlempar ke neraka, dan siapa yang berhasil melewati Ash-Shirat itu, maka berhasil masuk surga. Pada saat manusia melewati jembatan tersebut, mereka berhenti di atasnya di atara surga dan neraka sebagaiman mereka menuntut balas atas sebagian yang lain. Jika telah terseleksi, barulah mereka diizinkan memasuki surga. Orang pertama yang meminta dibukakan pintu surga adalah Muhammad saw dan sekaligus yang pertama dimasukinya. Sementa itu, yang paling pertama mausk surga, di antara umat para nabi dan rasul, adalah umat Muhammad.
    Pada hari kiamat Rasulullah diberi hak oleh Allah berupa tiga macam syafaat: Pertama, beliau memberi syafaat kepada orang-orang ketika berkumpul pada hari Mahsyar sampai nasib mererka diputuskan. Kedua, beliau memberikan syafaat bagi orang yang layak masuk surga yang dijanjikan-Nya. Kedua syafaat tersebut khusus diberikan oleh Nabi. Ketiga, beliau memberi syafaat kepada orang-orang yang sepatutnya masuk neraka. Syafaat yang terakhir ini tidak hanya dimiliki oleh Rasulullah, namun juga dimiliki oleh nabi-nabi lain, para sidiqin dan lain-lainnya. Rasulullah memberi syafaat kepada orang-orang yang seharusnya masuk neraka agar terhindar darinya, juga kepada mereka yang memasukinya agar dikeluarkan darinya, juga kepada mereka yang memasukinya agar dikeluarkan darinya. Allah juga mengeluarkan hamba-hamba-Nya dari neraka tanpa melalui syafaat, akan tetapi semata-mata karena karunia dan rahmat-Nya. Allah mengekakalkan ahli surga di dalamnya dan memberi kelebihan bagi yang memasukinya dari penduduk dunia. Sesungguhnya Allah berkehendak terhadap suatu kaum untuk memasuki surga. (Juz 3: 145-146)
  6. Ahli Sunnah wal Jamaah mengimani qadar Allah dengan segala tingkatnya.
    Golongan yang selamat, Ahli Sunnah wal Jamaah, mengimani qadar Allah yang baik maupun yang buruk. Iman kepada qadar Allah ada dua tingkatan. Masing-maisng tingkatan mencakup dua hal.
    Tingkatan pertama:

    1. Beriman bahwa Allah mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmu-Nya yang qadim dan azali. Allah juga mengetahui seluruh keadaan mereka: ketaatan, kemaksiatan, rezeki, dan ajal mereka.
    2. Allah telah menentukan ketetapan itu di dalam Lauh mahfuz, semua ketentuan makhluk-Nya, itulah yang disebut takdir.
    Semuanya mengikuti ilmu Allah di mana pun tempat mereka, yang bersifat ijmali (global) ataupun tafsili (rinci). Allah telah mencatat semua yang ia kehendaki di lauh mahfudz. Pada saat dia menjadikan janin, sebelum meniupkan ruh dia mengutus malaikat dan menyuruhnya menetapkan empat perkara: tulislah rezekinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya (sengsara atau bahagia). Taqdir seperti ini telah diingkari oleh golongan Qadariyah secara keterlaluan pada masa lalu, sedikit pada masa sekarang.
    Tingkatan kedua:

    1. Dalam hal ini meliputi kehendak Allah yang berlaku dan kekausaan-Nya yang menyeluruh. Yaitu mengimani bahwa apa-apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa-apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Begitu juga setiap yang bergerak dan diam, baik yang di langit maupun yang di bumi, berjalan menurut kehendak-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, baik yang ada maupun yang tidak ada. Tidak ada satu jenis makhluk pun di bumi dan di langit ini kecuali Allah yang menciptakannya. Tiada pencipta selain Allah, dan tak ada rabb selain Dia.
    2. Meskipun demikian, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menaati-Nya, dan menaati Rasul-Nya, serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Dia Maha Suci yang mencintai orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang berbuat baik, serta yang berbaut adil. Dia juga rido kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dia tidak suka kepada orang-orang kafir, tidak rido kepada kaum yang fasik, tidak memerintahkan untuk berbuat keji, tidak mencintai hamba-hamba-Nya yang ingkar, dan tidak mencintai pembuat kerusakan. Para hamba adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan Allah yang menciptakan perbuatan mereka. Di antara hamba-Nya ada yang durhaka, ada yang mendirikan salat dan puasa. Mereka diberi kemampuan (kudrat) untuk melakukan amalan-amalan, juga diberi kemauan untuk berbuat, Allahlah yang menciptakan mereka serta menciptakan kudrat dan iradat mereka. Tingkatan qadar inilah yang diingkari oleh golongan Qadariyyah --golongan ini disinyalir oleh Nabi sebagai Majusi umat ini. Di kalangan umat juga dijumpai kaum yang berlebih-lebihan membenarkan (menetapkan) soal qadar Allah ini, sehingga mereka mengingkari kudrat dan ikhtiar manusia, terbelenggu oleh angan-angan mereka sendiri. Mereka mengeluarkan hikmah dan kemaslahatannya dari af'al Allah dan hukum-hukum-Nya. (Juz 3: 148)
  7. Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat: Iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkuarang.
    Termasuk prinsip yang diyakini Ahli Sunnah wal Jamaah adalah bahwa dien dan iman merupakan ucapan dan perbuatan: ucapan hati, lisan, dan anggota badan. Sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat, dan berkurang karena maksiat. (Juz 3; 151)
    Adapun Ahli Sunnah wal Jamaah--para sahabat, tabi'in, imam-imam sunah dan hadis, jumhur fuqaha dan sufi, seperti Imam Malik, ats-Tsauri, al-Auza'i, Hammad bin Zaid, asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, dan lainnya, serta para muhaqiq ahli kalam telah sepakat bahwa iman dan dien adalah ucapan dan perbuatan. Inilah pendapat ulama salaf dari golongan sahabat dan lainnya. Meskipun pada sebagian tempat iman itu berbeda maknanya dengan amal (perbuatan), akan tetapi semua amal saleh termasuk dalam lingkup ad-dien dan al-Iman. Adapun yang dimaksud dengan ucapan (qaul) adalah hati dan lisan, sedangkan perbuatan adalah perbautan hati dan anggota badan. (Juz 12: 471)
  8. Ahli Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa iman mempunyai pokok (ashl) dan cabang (furu'). Iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya, mereka tidak mengafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimannya.
    Para mufasir ahli sunnah mengatakan bahwa iman memiliki pokok dan cabang yang meliputi rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan yang dibolehkan (mustahab), sebagaimana hal ini terdapat di dalam ibadah haji, mencakup semua amalan yang dilakukan dan ditinggalkan (selama proses haji). Haji mempunyai rukun-rukun yang jika ditinggalkan, batallah haji tersebut, seperti wukuf di Arafah. Juga terdapat hal-hal yang dilarang: jika dilanggar, rusaklah haji tersebut, seperti menggauli isteri.
    Haji juga meliputi kewajiban yang harus dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan. Disamping itu, di dalam ibadah haji terdapat hal-hal yang dibolehkan (mustahab), jika ditinggalkan tidak berdosa namun jika dilakukan akan menambah kesempurnaan haji. Bagi orang yang meninggalkan rukun haji atau melakukan sesuatu yang dapat merusaknya, maka hajinya rusak (fasid), dan ia tetap berkewajiban melaksanakannya.
    Kita dapat memisalkan al-iman dan ad-dien sebagai pohon yang memiliki batang, ranting, dan daun. Kalaupun hilang ranting dan daunnya, tetaplah disebut pohon, meskipun menjadi kurang lengkap keberadaannya.
    Iman memiliki tiga tingkatan:

    1. Iman yang dimiliki para pendahulu yang dekat dengan Allah (orang-orang yang didekatkan). Mereka melakukan hal-hal yang wajib dan mustahab, baik mengerjakannya maupun meninggalkannya.
    2. Iman yang dimiliki oleh orang-orang tingkat menengah (muqtashid) dari golongan kanan (ashabul yamin), yaitu orang-orang yang melakukan kewajiban-kewajiban, baik yang harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan.
    3. Iman yang dimiliki orang-orang zalim, yaitu orang-orang yang meninggalkan sebagian kewajiban, atau melakukan sebagian perbautan terlarang.
    Oleh karena itu, ulama-ulama Ahli Sunnah wal Jamaah beritikad bahwa mereka tidak mengafirkan seorang pun dari ahli kiblat karena dosa yang dilakukannya, sebagai isyarat terhadap bid'ah Khawarij yang mengkafirkan seorang muslim karena melakukan dosa semata-mata. (Pengikut Khawarij modern terbesar di Indonesia sekarang ini dapat dilihat seperti kelompok LDII yang mengafirkan muslim lainnya yang tidak menjadi anggota jamaahnya, pen).
    Adapun pokok iman (ashlul iman) adalah mengakui dan membenarkan apa-apa yang disampaikan Rasulullah dari Allah dan tunduk mengikutinya. Maka siapa pun yang tidak melakukan hal tersebut tidaklah dia beriman.
    Perlu diketahui bahwa iman terdiri dari bagian-bagian dan unsur-unsut (tab'idl dan Juz'iyah). Oleh karena itu, bagian iman sekecil apa pun yang ada pada seseorang akan dapat mengeluarkannya dari siksa neraka (atas izin Allah). Artinya, ia tidak kekal di dalam neraka selama masih ada unsur iman meski sekecil apa pun. Akan tetapi, kelompok Khawarij mempunyai anggapan yang bebeda dengan ahli sunah. Mereka beranggapan bahwa iman harus secara keseluruhan atau sama sekali tidak memiliki iman. (Juz 12: 472-475)
    Berdasarkan pendirian dan itikad tersebut, Ahli Sunnah wal Jamaah tidak mengafirkan ahli kiblat hanya disebabkan perbuatan dosa (kaba'ir) dan kemaksiatan semata. Hal ini berbeda dengan itikad Khawarij yang mengafirkan orang karena kemaksiatan dan dosa yang dilakukannya. Bahkan, menurut Ahli Sunah wal Jamaah, persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat. Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal di dalam neraka, berbeda apa yang diyakini Mu'tazilah: bahwa fasik dapat menggugurkan iman secara total dan kekal di neraka. Orang fasik, menurut ahli sunah, masih tergolong beriman, atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak. Oleh sebab itu, mereka mengatakan bahwa orang fasik adalah orang beriman dengan kualitas rendah, dia disebut mukmin karena imannya, dan disebut fasik karena dosa-dosanya. Mereka tidak diberi nama secara mutlak dan tidak pula divonis mutlak telah hilang keimannya. (Juz 3: 51-52)
  9. Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan pahala pada diri sesorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus.
    Sesungguhnya laknat termasuk ancaman, oleh karenanya tidak ditetapkan secara umam. Seseorang dapat terhindar dari ancaman karena melakukan taubat dengan benar, karena kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena adanya musibah yang bisa menebusnya, karena syafaat yang diterimanya, atau sebab-sebab lain yang dapat menghilangkan hukuman (ancaman). Ini tentang orang yang melakukan dosa dengan jelas. Tidaklah seseorang dinyatakan masuk surga, kecuali dengan dalil khusus. Juga tidak boleh menjadi saksi atas mereka semara-mata berdasarkan prasangka, sebab mereka termasuk dalam kategori umum. Dengan demikian, mereka bisa tergolong kedalam dua kategori umum tersebut, mereka berhak mendapat pahala dan hukuman. (Juz 35: 66-68 dan 282)
    Ahli Sunah wal Jamaah dan seluruh pengikut mereka telah bersepakat atas berhimpunnya dua perkara siksa dan pahala pada kebanyakan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh hadis-hadis yang mutawatir dari Nabi. Mereka tidak mewajibkan siksa terhadap orang yang melakukan dosa besar, juga tidak menyatakan terhadap seorang muslim tertentu, berdasarkan kesakian matanya, patut masuk neraka karena dosa besar yang diperbuatnya. Menurut mereka, boleh jadi Allah memasukkan mereka ke dalam surga tanpa disiksa terlebih dahulu.
    Hal itu disebabkan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dapat menghapus dosa, atau karena musibah yang dapat menebusnya, atau karena dia mustajab yang diucapkannya atau diucapkan orang lain. (Juz 12:480)
    Kami tidak memvonis seseorang masuk neraka, karena kami tidak mengetahui berlakunya ancaman baginya hanya berdarkan pengamatan lahir. Selain itu, berlakunya ancaman pada seseorang dibutuhkan persyaratan serta tiadanya unsur-unsur penghalang, sedangkan kita tidak mengetahui kebenaran sayrat-syarat dan tidak adanya penghalang tersubut pada seseorang. Manfaat ancaman adalah menerangkan bahwa dosa merupakan penyebab timbulnya siksa. Sedangkan penyebab itu sendiri pengaruhnya tergantung pada persyaratan yang memenuhinya dan tiadanya penghalang. (Juz 12: 484)
  10. Ahli Sunnah wal Jamaah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan isteri-isteri Rasul tanpa meyakini adanya kemaksuman terhadap siapa pun, kecuali Rasulullah.
    Termasuk pokok akidah Ahli Sunah wal Jamaah adalah menjaga keselamatan hati dan lisan mereka dari tuduhan terhadap para sahabat Rasulullah. Ahli Sunah wal Jamaah meneriman Kitabullah, Sunah, dan ijma sesuai dengan keutamaan dan martabat mereka. Oleh karena itu, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang membelanjakan hartanya dan berperang di jalan Allah, sebelum "kemenangan"--yaitu perjanjian hudaibiyah-- daripada orang-orang yang membelanjakan harta dan berperang di jalan Allah sesudah masa itu. Mereka mendahulukan kaum Muhajirin terhadap Anshar. Mereka juga mengimani bahwa Allah berfirman kepada ahli Badar (pahlawan perang Badar) yang berjumlah 300 orang lebih: "Kerjakanlah apa yang kalian suka, Aku telah mengampuni dosa kalian." Mereka mengimani bahwa tidak ada sorang pun yang berba'iat di bawah pohon Ridlwan, masuk neraka.
    Berdasarkan hal ini, mereka menyatakan masuk surga kepada seseorang yang dinyatakn masuk surga oleh Rasulullah.
    Mereka mengetahhui berita yang mutawatir dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan lainnya bahwa sebaik-baik umat ini sesusah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab. Mereka mengakui bahwa kedua sahabat itu adalah khalifah sesudah Rasulullah. Termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sesudah mereka. Mereka mencintai dan mendukung ahlul bait dan isteri-isteri Rasul sebagai ibu orang-orang mukmin (ummahatul mukminat). Mereka mengimani bahwa isteri beliau akan tetap menjadi isteri beliau di akhirat kelak, khususnya Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Ash-Shidiq.
    Ahli Sunnah wal Jamaah tetap teguh (tidak terpecah-belah) dalam melihat perselisihan yang terjadi di antara para sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat itu dimaafkan Allah, baik merek ayang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun yang salah. Akan tetapi, mereka tidak meykini bahwa para sahabat itu maksum dari dosa-dosa besar dan kecil. Bahkan, menurut Ahli Sunah wal Jamaah, boleh jadi di antara mereka pernah melakukan dosa, namun karena memliki banyak jasa dan berbagai keutamaan, maka patut diampuni dosa-dosa mereka. Hal ini benar dan dikuatkan oleh sabda Nabi saw, "Mereka adalah sebaik-baik generasi."
    Para sahabat merupakan sebaik-baik makhluk setelah para Nabi. Tidak ada dan tidak akan terjadi generasi seperti mereka, sebab mereka merupakan generasi yang paling terpelihara dari umat ini, sebai-baik umat, dan semualia-mulia umat di sisi Allah. (Juz 3: 152-156)
  11. Ahli Sunnah wal Jamaah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka.
    Termasuk pokok keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian yang diberlakukan Allah pada mereka dalam berbagai ilmu, temuan, kemampuan, dan pengaruh-pengaruh mereka. Hal demikian, sebagaimana banyak diriwayatkan, telah ada sejak umat-umat terdahulu, seperti yang terdapat dalam Alquran surat Al-Kahfi dan lainya, sampai kepada para sahabat dan tabiin dan seluruh generasi umat ini. Kejadian-kejadian seperti itu akan tetap ada sampai hari kiamat. (Juz 3: 156)
  12. Ahli Sunnah wal Jamaah bersepakat untuk memerangi siapa pun yang keluar dari syariat Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
    Telah ditegaskan berdasarkan Kitabullah, Sunnah, dan Ijma umat bahwa siapa pun yang kelaur dari syariat Islam berhak diperangi sekalipun mengucapkan dua kalimat syahadat. Memerangai mereka merupakan kewajiban yang tentu saja harus didahului dengan penyampaian dakwah Nabi kepada mereka. Jika mereka mendahului memerangi kaum muslimin, haruslah mereka diperangi. Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, mereka wajib membela diri, sementara kaum muslimin yang lainnya memberikan pertolongan menurut kemampuan masing-masing, baik dengan diri dan harta ataupun dengan berjalan kaki dan berkendaraan. Hal seperti ini sebagaimana pernah diperlihatkan kaum muslimin ketika hendak menyerang musuh pada perang Khandaq yang tak seorang pun dari mereka diizinkan untuk tidak ikut berjihad membela agama, jiwa, dan kehormatan. (Juz 28: 357-359)
  13. Ahli Sunnah wal Jamaah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun durhaka, demi menegakkan syariat Islam.
    Termasuk pokok keyakinan Ahli Sunnah wal Jamaah adalah berperang bersama orang yang baik dan buruk (fajir, durhaka), sebab Allah memperkuat Dienul Islam ini di antaranya dengan orang-orang fajir dan orang-orang yang tidak berakhlak, sebagaimana diberikan oleh Nabi. Maka dalam situasi seperti ini hanya ada dua alternatif yang harus dihadapi setiap muslim, tidak mau berperang bersama mereka sehingga muncul kekuasaan lain yang akan membawa mudarat lebih besar dalam ad-Din dan dunia, atau berperang bersama mereka (pemimpin yang fajir) sehingga dapat mengalahkan orang-orang yang lebih fajir sehingga sebagian besar syariat Islam bisa ditegakkan, meskipun tidak seluruhnya. Dalam hal ini, alternatif yang kedua yang harus dipilih, bahkan kebanyakan peperangan yang terjadi sesudah masa Khulafaur Rasyidin dalam bentuk seperti ini. (Juz 28: 506)

3 komentar

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum alhamdulillah saya menemukan blog ini yang bagus ini. terima kasih pak ustadz...

edi banks mengatakan...

semoga Alloh SWT memberi barokah kepada Anda,silahkan beli juga bukunya Disini semoga bermanfaat

edi banks mengatakan...

Sangat bermanfaat artikelnya mas silahkan beli juga bukunya Disini semoga bermanfaat