Pemahaman sebagai Syarat Penentuan Tegaknya Hujjah


Pemahaman sebagai Syarat Penentuan Tegaknya Hujjah

Allah SWT telah menjelaskan bahwa Dia mengutus Rasul-Nya untuk mengajarkan al-kitab (Alquran) dan hikmah. Dia berfirman yang artinya, "Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan." (An-Nahl: 44). Rasulullah saw kemudian melaksanakan amanat ini, maka ia menjelaskan peringatan yang diturunkan kepadanya sehingga orang-orang yang mengakui kebenaran , pengetahuan, dan yang mendapatkan petunjuk dapat mengetahui hal itu.
Rasulullah saw adalah orang yang paling mengetahui Allah al-Haq, paling fasih lisannya, paling terang penjelasannya, dan paling sungguh-sungguh memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah. Hal demikian meniscayakan penjelasan Rasulullah saw sebagai yang paling sempurna daripada yang lainnya. (Lihat Dar'u Ta'arudh al-'Aql wan-Naql, juz 5, h. 371 -- 373).
Demikian ringkasan ilustrasi yang membedakan antara firman Allah Ta'ala dan sabda Rasulullah saw, yang salah satu maksudnya adalah sebagai landasan bagi pemahaman manusia akan perintah Allah Ta'ala yang disampaikan kepada mereka dan yang mengandung perintah supaya manusia hanya kepada Allah satu-satunya yang berhak disembah dan ditaati. Demikian pula halnya dengan larangan untuk mempersekutukan Allah dengan yang lain atau menyembah sesuatu selain Dia, serta larangan melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa terhadap-Nya.
Oleh karena itu, taklif atau memberlakukan kewajiban yang diperintahkan berdasarkan kemampuan pengembangnya merupakan salah satu poin terpenting dari keistimewaan agama Islam yang hanif (lurus). Seandainya perintah Allah tidak dapat dipahami oleh manusia sedang mereka diperintahkan untuk melaksanakannya maka hal itu merupakan taklif yang tidak perlu diindahkan, dan ini tidak akan terjadi di dalam agama Allah Ta'ala.
Firman Allah SWT dapat dipahami oleh orang yang mendengarnya dengan akal yang sadar, demikian pula halnya dengan sabda Rasulullah saw. Namun demikian, problem ini berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Keberadaan syariat yang dijelaskan pada dirinya tidak lantas menuntut bahwa ia telah dijelaskan kepada setiap orang. Berdasarkan hal ini Allah memuliakan sebagian hamba-Nya dengan ilmu dan meninggikan derajat mereka supaya mereka menjadi ahli zikir (pemberi peringatan) yang mengajarkan kebenaran kepada manusia.
Bertitik tolak dari kejelasan risalah Islam pada dirinya sendiri dan adanya penjelasan Rasulullah saw dengan penjelasan yang sebaik-baiknya, ahli ilmu (ulama) menganggap bahwa penyampaian hujjah dipandang cukup dengan menegakkannya di hadapan hamba-hamba Allah, dan mereka tidak mensyaratkan pemahaman kitab. Berdasarkan hal itu mereka mengatakan bahwa setiap orang yang telah mengetahui Alquran dan khabar/sunnah Rasulullah saw maka hujjah pun telah ditegakkan baginya, dan tidak ada alasan untuk mencari apakah ia telah memahami kitab atau tidak. Sedangkan sebagian yang lain mensyaratkan pemahaman kitab untuk memastikan bahwa hujjah telah ditegakkan baginya. Hal ini berdasarkan pada pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa keberadaan syariat itu sendiri yang telah jelas tidak mengindikasikan bahwa ia pun telah jelas bagi setiap orang, karena kemampuan intelektual (berpikir) para mukallafin berbeda-beda.
Pokok persoalan pada hujjah ini tidak dibedakan antara pengetahuan dan pemahaman terhadap hujjah tersebut, sebab mayoritas orang-orang kafir dan orang-orang munafik dari kalangan kaum muslimin tidak memahami hujjah sedangkan hujjah telah ditegakkan di hadapan mereka. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (Al-Furqan: 44).
Ditegakkannya hujjah merupakan satu bentuk dan penyampaikannya adalah bentuk yang lain. Jika hal itu disampaikan kepada Anda, maka perhatikanlah sabda Rasulullah saw yang artinya, "Di mana pun kamu menjumpai mereka, maka perangilah mereka." (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Istibanah al-Murtaddin, bab Qath al-Khawarij, juz 12, h. 295, no. 6930; dan Muslim dalam az-Zakat, bab at-Tahridh 'ala Qatl al-Khawarij, juz 2, h. 746, no. 1066). Dan sabda beliau, "Seburuk-buruk orang yang mati terbunuh di atas bumi...." (Tirmizi dalam at-Tafsir, surat Ali Imran, juz 5, h.210, no. 3000; Ibnu Majah dalam Dzikr al-Khawarij, juz 1, h. 62, no. 176; Ahmad juz 5, h. 250; Thabarani juz 8, h. 273, no. 8051; Hakim juz 2, h. 149; dan Harits bin Abi Usamah, seperti dalam Zawaid al-Harits juz 2, h. 817, no. 706). Sedangkan mereka hidup pada masa sahabat, dan orang-orang mengolok-olok amal sahabat bersama mereka, dan juga telah ada kesepakatan orang yang hidup pada masa itu bahwa yang mengeluarkan mereka dari agama adalah kekakuan, berlebih-lebihan, dan ijtihad. Mereka menganggap hal itu sebagai menaati Allah dan hujjah telah sampai kepada mereka, tetapi mereka tidak memahaminya. Demikian pula pembunuhan terhadap Ali ra yang dilakukan oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa Ali berdosa, sedang mereka adalah murid-murid sahabat, suka beribadah, mendirikan salat, dan menjalankan puasa. Mereka menganggap diri mereka benar. Begitu pula kesepakatan ulama salaf untuk mengafirkan golongan Qadariyah yang sesat. (Catatan: sampai di sini kita memahami bahayanya aliran-aliran sempalan yang di dalam memahami dan mengartikan ajaran-ajaran agama atas pemahaman sendiri, mereka bukanlah golongan ahli sunnah wal jamaah, lihat dalam rubrik "ALIRAN PEMIKIRAN", pent).

Tidak ada komentar