Hukum Kebodohan (dalam Masalah Agama) yang Dapat Dihindari Mukalaf


Hukum Kebodohan (dalam Masalah Agama) yang Dapat Dihindari Mukalaf


Kebodohan bukan sifat yang selalu melekat pada manusia dalam setiap kondisinya. Tetapi, ada bentuk kebodohan yang melekat pada manusia sebagai akibat dari perbuatannya sendiri, yaitu kelalaiannya dalam upaya menghilangkan kebodohan tersebut dengan cara belajar.
Oleh karena itu, hukum kebodohan dalam masalah agama berubah sesuai dengan perubahan hukum kebodohan yang dapat dimaafkan karena sebab-sebab syariat: pertama, adalah karena sebab kesulitan untuk melepaskan diri dari kebodohan tersebut. Kedua, adalah tidak adanya kelalaian mukallaf dalam tindakannya yang muncul dari kebodohan yang dimaafkan tersebut. Jadi, kebodohan tidak dapat dijadikan alasan, kecuali jika ada kesulitan dan kendala untuk menghindarinya, jika kesulitan dan kendala itu hilang, dan ia dapat mengetahui hukum agama tetapi ia lali, maka kebodohannya tidak dapat dimaafkan. (Lihat Majmu al-Fatawa, juz 2, h. 281).
Syekh Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Orang yang meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan (melaksanakan sesuatu yang haram) bukan berdasarkan keyakinan dan bukan pula karena kebodohan yang dpat dimaafkan, tetapi karena kebodohan dan berpaling dari kewajibannya mencari ilmu dengan kemampuan yang ada pada dirinya, atau ia telah mendengar diwajibkannya hal ini dan diharamkannya hal itu dan ia tidak melaksanakannya karena ia berpaling dan bukan karena keingkarannya pada kerasulan, kedua bentuk penyimpangan ini banyak terjadi karena meninggalkan kewajiban mencari ilmu yang diperintahkan kepadanya hingga ia meninggalkan kewajiban dan melakukan larangan tanpa mengetahui bahwa perbuatan itu telah diwajibkan dan yang lain diharamkan, atau khithab telah sampai kepadanya dan ia tidak berusaha mengikutinya karena fanatik terhadap mazhabnya atau karena mengikuti hawa nafsunya, maka tindakan ini telah meninggalkan keyakinan yang diwajibkan tanpa alasan syar'i." (Majmu al-Fatawa, juz 22, h. 16).
Ibnu al-Luham (seorang ahli ushul fikih) mengatakan, "Jika kami mengatakan bahwa orang bodoh dapat dimaafkan, maka yang kami maksudkan dengan pernyataan ini adalah apabila ia tidak lalai dan tidak meremehkan dalam mempelajari hukum. Sedangkan apabila ia lalai, maka ia tidak dimaafkan." (Syadzarat adz-Dzahab, juz 7, h. 31 dan Mu'jam al-Mu'allifin, juz 2, h. 510.
Ibnu Qayyim Rahimahullah berbicara tentang orang-orang bodoh dari kalangan kaum kafir yang bertaklid (mengikuti) pada pembesar dan pemimpin mereka dalam kekafiran, ia mengatakan, "Dalam kondisi ini perlu ada penjelasan yang memadai yang dapat menghilangkan praduga macam-macam, yaitu perbedaan antara mukallid (orang yang bertaklid) yang memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran dan ia berpaling darinya, dengan mukallid yang tidak memungkinkan baginya untuk mengetahui kebenaran itu. Kedua bentuk taklid ini ada dalam realitanya, maka seorang mukallid yang memungkinkan baginya mengetahui kebenaran tetapi ia berpaling dan melalaikannya, maka ia tidak dimaafkan di hadapan Allah...." (Thariq al-Hijratain, h. 412).
Bentuk kebodohan ini adalah kebodohan yang terjadi akibat berpaling dari dan menghindari ilmu. Kebodohan bentuk ini merupakan kebodohan yang dapat dihindari dan dihilangkan; karena mukallaf yang tetap dalam kebodohan ini adalah pilihannya, dan keberadaannya yang tanpa ilmu merupakan kehendaknya. Maka, seseorang yang bodoh yang tidak mengetahui hukum agama karana ia berpaling dari ilmu yang memungkinkan baginya untuk memperolehnya sama dengan orang yang ingkar yang melihat kebenaran tetapi ia tidak melaksanakannya.
Berdasarkan analisis terhadap pendapat beberapa ulama, dapat dilihat bahwa sebagian mereka berpendapat bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf (dengan berupaya mencari ilmu) tidak dapat dijadikan alasan, baik karena kelalaian si mukallaf sendiri dalam mencari ilmu dan ia lebih memilih tetap dalam kebodohan tersebut maupun karena kebodohan tersebut berkaitan dengan masalah-masalah yang hukumnya telah diketahui secara jelas dan umum di kalangan masyarakat.
Imam Suyuthi Rahimahullah berkata, "Setiap orang yang tidak mengetahui mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas masyarakat, ia tidak dimaafkan, kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut." (Al-Asybah wa an-Nazha'ir, h. 220).
Imam al-Muqarri Rahimahullah mengatakan, "Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada para ulama untuk menjelaskan hukum-hukum (kepada ahlinya). Maka, tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinka baginya untuk mempelajarinya." (Al-Qawa'id, juz 2, h. 412).
Imam Ibnu Rajab mengatakan, "Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina telah diharamkan, perkataannya (pengakuannya) tidak dapat diterima, sebab kenyataannya ia telah mendustainya, meskipun pada dasarnya ia tidak mengethui hl itu." (Al-Qawa'id, h. 343).
Maksud dari perkataan Ibnu Rajab adalah bahwa hukum zina telah dikenal dan tersiar di negara Islam, sehingga meskipun seseorang berbuat zina mengaku dirinya tidak mengetahui hukum zina, maka ketidaktahuannya tidak dapat diterima, karena kelalaiannya dalam upaya mengetahui hukum-hukum Islam yang merupakan ilmu agama yang sudah semestinya diketahui dan dikenal secara umum. Demikian juga karena kebodohannya tersebut bukan sesuatu yang sulit dihindari, sehingga tidak dapat dijadikan alasan bagi orang yang meninggalkan kewajiban atau melakukan perbuatan yang telah diharamkan yang merupakan hukum agama yang sudah seharusnya diketahui dan telah dikenal secara umum, kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang jauh dari perkembangan ilmu sehingga hukum-hukum seperti ini kurang jelas baginya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan ini adalah bahwa kebodohan yang dapat dihindari oleh mukallaf dengan melihat tidak adanya kesulitan untuk melepaskan diri darinya menurut kebiasaan (standar umum) mengingat tidak adanya sebab-sebab kesulitan tersebut, juga dengan melihat kemungkinan mukallaf untuk memperoleh ilmu... maka kebodohan tersebut tidak dapat dijadikan alasan dan karena itu pula mukallaf akan menerima segala akibat (baik dan buruk) sesuai dengan perbuatannya.... Allahu a'lam.

Tidak ada komentar