Puasa Syawal


Puasa Syawal



 

عن أبي أيوب الأنصاري رضي الله عنه أنه حدثه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal [1], maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim 1164] [2]

Hadits ini menunjukkan tentang keutamaan berpuasa enam hari di bulan Syawwal yakni seperti berpuasa setahun penuh. Karena satu kebaikan di sisi Allah nilainya sama dengan sepuluh kebaikan yang serupa. Maka berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan, dan berpuasa enam hari di bulan Syawwal sepadan dengan enam puluh hari atau dua bulan, sehingga menjadi genap dua belas bulan (1 tahun). Hal ini sebagaimana yang telah diriwayatkan Tsauban radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda:

صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

“Berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan dan berpuasa enam hari (di bulan Syawwal) sepadan dengan dua bulan, demikian puasa setahun penuh.” [HR. An-Nasa'i Al-Kubra 2/163]



Berpuasa Berturut-turut atau Tidak [?]

Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amir As-Shan’ani rahimahullah menerangkan:
“Dan perlu diketahui, bahwa pahala puasanya akan diperoleh orang yang berpuasa dengan berlainan hari atau berturut-turut, dan atau orang yang berpuasa sehari setelah ‘Id atau pada pertengahan bulan Syawwal. Dalam Sunan At-Tirmidzi diriwayatkan dari Ibnul Mubarak, bahwasannya beliau memilih berpuasa enam hari di permulaan bulan Syawwal. Diriwayatkan pula dari Ibnul Mubarak bahwasannya beliau berkata: “Jika puasa enam hari di bulan Syawwal dilakukan dengan tidak berturut-turut maka yang demikian boleh” [3].
Akan tetapi yang afdhal (lebih utama) adalah dengan mengerjakannya berturut-turut [4] karena yang demikian merupakan bentuk bersegera dalam amalan kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

“Mereka itu orang-orang yang bersegera dalam berbagai amalan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dulu memperolehnya.” [Al-Mu'minun: 61]

Bolehkah Berpuasa Syawwal Sebelum Qadha’ (mengganti) Puasa Ramadhan [?]

Hal ini berkaitan dengan hukum puasa sunnah sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan, dan terjadi silang pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama dalam masalah ini.

Para ulama malikiyah, dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mewajibkan qadha’ Ramadhan sebelum berpuasa sunnah [5]. Karena meng-qadha’ hukumnya wajib, berpuasa enam hari hukumnya sunnah, hal yang wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah ta’ala sejalan dengan pendapat ini [7]. Dalil mereka ialah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam:

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” [HR. Muslim 1164]

Dipahami pula lafadzh “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan…” yakni telah berpuasa Ramadhan dengan tuntas. Karena jika masih ada hutang puasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawwal maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Orang yang masih berhutang puasa sehari saja di bulan Ramadhan, tidak dikatakan telah berpuasa Ramadhan, akan tetapi berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan.

Sementara para ulama syafi’iyah menganjurkan untuk mendahulukan qadha’ puasa Ramadhan sebelum berpuasa sunnah [7]. Artinya boleh berpuasa sunnah sebelum meng-qadha’, namun lebih utama mendahulukan yang wajib.

Adapun para ulama dari kalangan hanafiyah, dan Imam Ahmad dalam riwayat lain [8] serta para ulama yang sependapat dengan mereka berpandangan bahwa hal tersebut tidaklah wajib, yakni boleh berpuasa sunnah walaupun belum mengqadha’ puasa Ramadhan. Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. “….Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tinggalkan puasanya itu) pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]

2. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menyatakan: “Aku pernah punya hutang puasa Ramadhan, akan tetapi aku tidak mampu mengqadha’nya melainkan di bulan Sya’ban.” [HR. Muslim 1146] [9]

Sisi pendalilannya bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menunda qadha’ hingga bulan Sya’ban, sehingga berpuasa Syawwal dapat dilakukan sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan, berhubung rentan waktu yang begitu panjang.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-’Asqalaani rahimahullah menyatakan: “Dalam hadits ‘Aisyah menunjukkan bolehnya menunda qadha’ puasa Ramadhan secara mutlak, sama saja apakah karena ‘udzur ataupun tidak ada ‘udzur.

Syaikh Muhammad Al-Amiin bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi rahimahullah juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah tersebut dalam membolehkan puasa Syawwal sebelum mengqadha’ Ramadhan, dan beliau menganggap tidak masalah seseorang menunaikan amalan sunnah sementara masih punya hutang amalan yang wajib, dan qadha’ Ramadhan memiliki rentan waktu yang cukup panjang.

Beliau memberikan permisalan : “Jika telah berkumandang adzan dzhuhur, maka wajib atas engkau shalat dzhuhur, akan tetapi engkau mendahulukan shalat sunnah rawatib sebelum shalat dzhuhur, dan berarti engkau telah mendahulukan yang sunnah sebelum yang wajib (berhubung waktu dzhuhur masih panjang, pen) [10].”

3. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda kepada beliau tentang qadha’ puasa Ramadhan: “Jika kamu mau bisa berlainan hari, dan jika kamu mau bisa berturut-turut.” [HR. Ad-Daruquthni]

Pendapat yang Lebih Kuat

Menimbang berbagai perbedaan pendapat yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa pendapat ulama yang mewajibkan qadha’ sebelum berpuasa sunnah khususnya enam hari di bulan Syawwal adalah pendapat yang lebih kuat. Hal ini ditimbang dari beberapa sisi :
Pertama, hikmah dari puasa enam hari di bulan Syawwal seperti berpuasa setahun penuh, sementara orang yang berpuasa Syawwal sebelum meng-qadha’ puasa Ramadhan berarti belum sempurna setahun penuh.

Kedua, firman Allah dalam surat Al-Baqarah 184 tersebut berkenaan dengan orang-orang
yang tidak mampu yakni karena sakit, dalam perjalanan atau ada ‘udzur lain, jadi tidak melazimkan bolehnya berpuasa sunnah sebelum qadha’ Ramadhan. “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”

Ibnu Hazm rahimahullah ketika menerangkan ayat ini menyatakan: “Jika belum mampu maka dia boleh meng-qadha’nya dengan tidak berturut-turut, dan cukup baginya firman Allah Ta’ala: “Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”, dan Allah tidaklah membatasinya dengan waktu dalam meng-qadha’ puasa, tidak sahnya qadha’ jika dikerjakan diluar waktunya [11].

Ketiga, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menunda puasa karena ada alasan tertentu yakni tidak mampu, sehingga beliau meng-qadha’nya pada bulan Sya’ban. Di sini ada isyarat bahwa jika seandainya ‘Aisyah mampu, maka beliau tidak akan menundanya. Demikian penuturan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam memahami hadits ‘Aisyah tersebut di atas [12]

Keempat, telah tersembunyi atas Ibnu Hajar rahimahullah tentang ‘udzurnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yakni ketidakmampuan beliau sehingga menunda qadha’-nya di bulan Sya’ban [13].

Kelima, riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam sanadnya terdapat kelemahan, berhubung ada rawi yang dinilai majhul (misterius) bernama Sufyan bin Bisyr [14].

Keenam, permisalan Syaikh Muhammad As-Syinqithi rahimahullah jika ditelaah kembali kurang tepat, karena hal ini berkaitan dengan hutang puasa Ramadhan yang wajib segera dibayar. Sama halnya dengan orang yang lupa dari shalat fardhu dan sudah di luar waktunya, maka dia harus segera menunaikannya ketika ingat. Wallahu a’lam.

Bolehkah Meng-qadha’ Puasa Syawwal di Bulan lain [?]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menerangkan :
“Yang nampak dari dua pendapat para ulama, bahwasannya jika telah berlalu bulan Syawwal dan seseorang belum sempat berpuasa (enam hari) maka tidak perlu meng-qadha’ (di bulan lain), karena puasa Syawwal merupakan sunnah yang telah luput waktunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam telah mengkhususkannya dengan bulan Syawwal, maka tidak akan diperoleh pahala puasa pada bulan tersebut jika dilakukan di bulan lain, dikarenakan luput dari maslahat menyegerakan amalan kebaikan yang dicintai oleh Allah ta’ala. Jika seandainya bulan Syawwal sama kedudukannya dengan bulan-bulan lain, tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam tidak akan menyebutkan keutamaannya.” Dan ada yang mengatakan : “Jika seseorang mengalami ‘udzur seperti sakit, haidh, nifas atau ‘udzur-’udzur yang lainnya yang menyebabkan dia terhalang dari puasa Syawwal dan menundanya, maka dia tetap akan mendapatkan pahalanya walaupun berpuasa pada bulan berikutnya, wallahu a’lam [15].”
Demikian sedikit uraian yang dapat kami sajikan berkenaan dengan puasa Syawwal, wallahu a’lamu bis-shawwab.

Fikri Abul Hasan
——————————————————————-
Footnote:


1. Berkata Yahya : “Aku mendengar Imam Malik berkata tentang berpuasa enam hari setelah ‘Idul Fithri; sesungguhnya beliau rahimahullah tidak melihat seorang pun dari Ulama ahli fiqh berpuasa enam hari di bulan Syawwal, dan belum sampai kepadaku berita mengenai hal itu dari kalangan Salaf seorang pun. Dan sesungguhnya para Ulama melarangnya karena mereka khawatir hal tersebut bid’ah.” [Al-Muwattha' hal. 210].

Hal ini semata-mata ijtihad Imam Malik rahimahullah dalam menilai puasa enam hari di bulan Syawwal, dan ijtihad ulama siapa pun bisa diambil dan bisa ditolak, sebagaimana dikatakan oleh beliau: “Semua omongan bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali omongan penghuni kubur ini (sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam).” [Atsar riwayat Ibnu 'Abdil Bar dalam Al-Jami' 2/91].
Abul ‘Ala Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 3/389 : “Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah bahwa riwayat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu menjadi dalil yang sharih (tegas) bagi madzhab Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad, Dawud (Adz-Dzhahiri, -pent) serta para Ulama yang mencocoki madzhab mereka dalam memandang sunnahnya puasa enam hari (di bulan Syawwal, -pent).”

2. Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amir As-Shan’ani rahimahullah : “Ibnu Dihyah menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Sa’d bin Sa’iid (bin ‘Amr Al-Anshari Al-Madani, -pent) lemah haditsnya.”, berkata Al-Imam An-Nasa’i: “Tidak kuat.”, berkata Abu Hatim: “Tidak boleh sibuk dengan haditsnya Sa’d bin Sa’id.” –selesai-. Berkata Ibnus Subki : “Syaikh kami Abu Muhammad Ad-Dimyathi telah merasa cukup dengan mengumpulkan sanad-sanadnya dan ada dua puluh tiga lebih (yakni antara 23 – 29) para perawi yang meriwayatkannya dari Sa’d bin Sa’iid, dan mayoritas dari mereka para huffadzh lagi terpercaya di antaranya “Sufyanaani” (yakni Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri dan Sufyan bin ‘Uyainah, -pent), dan ada mutaabi’ atas Sa’d bin Sa’iid dalam riwayatnya yakni saudaranya Yahya bin Sa’id dan ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, dan Shafwan bin Sulaim dan selain mereka. Diriwayatkan pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam tersebut oleh Tsauban, Abu Hurairah, Jabir bin ‘Abdillah, Ibnu ‘Abbas, Al-Bara’ bin ‘Azib, ‘Aisyah, dan riwayat Tsauban dengan lafadzh: “Berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sepadan dengan sepuluh bulan dan berpuasa enam hari (di bulan Syawwal) sepadan dengan dua bulan, demikian puasa setahun penuh.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i [Syaikh Al-Albani menilai "shahih" dalam Shahihul Jami' no. 3851, -pent)." [Subulus Salam Al-Muwasshilah ilaa Bulughil Maram hal. 567]

3. Subulus Salam Al-Muwasshilah ilaa Bulughil Maram hal. 567

4. Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 8/304

5. Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 – Shahih Fiqhus Sunnah 140

6. Syarh Riyadhus Shalihin 3/507, dan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqhus Sunnah 3/134 menukil dari Syarhul Mumti’ 6/448

7. Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 – Shahih Fiqhus Sunnah 140

8. idem

9. Kelengkapan riwayatnya: “Aku pernah punya hutang puasa Ramadhan, akan tetapi aku tidak mampu meng-qadha’nya melainkan di bulan Sya’ban karena sibuk mengurus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam.” Potongan lafadz terakhir “….karena sibuk mengurus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam” adalah mudraj (terselip) dalam hadits, dan bukan perkataan ‘Aisyah namun perkataan salah satu perawi yakni Yahya bin Sa’id sebagaimana yang diterangkan Ibnul Qayyim dan Al-Hafidz rahimahumallah.” [Tamamul Minnah hal. 422]

10. Mausu’ah Al-Fatawa Al-Islamiyah – Khulashatul Kalam Fi Ahkami Ulama’ Al-Baladil Haram hal. 193

11. Al-Muhalla tahqiq Ahmad Syakir 3/308

12. Tamamul Minnah Fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 422:

13. Idem, hal 423

14. Idem

15. Fatawa Syaikh As-Sa’di hal. 230


Tidak ada komentar