Bahaya Riya Dan Cara Pengobatannya


Bahaya Riya Dan Cara Pengobatannya


Para pembaca yang mulia…, Riya’, suatu penyakit hati yang tidak asing lagi kita dengar. Bahaya riya’ selalu menyerang kepada seseorang yang melakukan ibadah atau aktifitas tertentu.
Penyakit ini termasuk jenis penyakit yang sangat berbahaya karena bersifat lembut (samar-samar) tapi berdampak luar biasa. Bersifat lembut karena masuk dalam hati secara halus sehingga kebanyakan orang tak merasa kalau telah terserang penyakit ini. Dan berdampak luar biasa, karena bila suatu amalan dijangkiti penyakit riya’ maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan pelakunya mendapat ancaman keras dari Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sangat khawatir bila penyakit ini menimpa umatnya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad dari shahabat Mahmud bin Labid no. 27742)
Arriya’ (الرياء) berasal dari kata kerja raâ ( راءى) yang bermakna memperlihatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan riya’ adalah memperlihatkan (memperbagus) suatu amalan ibadah tertentu seperti shalat, shaum (puasa), atau lainnya dengan tujuan agar mendapat perhatian dan pujian manusia. Semakna dengan riya’ adalah Sum’ah yaitu memperdengarkan suatu amalan ibadah tertentu yang sama tujuannya dengan riya’ yaitu supaya mendapat perhatian dan pujian manusia.
Para pembaca yang mulia, perlu diketahui bahwa segala amalan itu tergantung pada niatnya. Bila suatu amalan itu diniatkan lkhlas karena Allah subhanahu wata’ala maka amalan itu akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Begitu juga sebaliknya, bila amalan itu diniatkan agar mendapat perhatian, pujian, atau ingin meraih sesuatu dari urusan duniawi, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya amalan seseorang itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibadah merupakan hak Allah subhanahu wata’ala yang bersifat mutlak. Bahwa ibadah itu murni untuk Allah subhanahu wata’ala, tidak boleh dicampuri dengan niatan lain selain untuk-Nya. Sebagaimana peringatan Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (artinya):
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
BENTUK-BENTUK RIYA’
Bentuk-bentuk riya’ beraneka ragam warnanya dan coraknya. Bisa berupa perbuatan, perkataan, atau pun penampilan yang diniatkan sekedar mencari popularitas dan sanjungan orang lain, maka ini semua tergolong dari bentuk-bentuk perbuatan riya’ yang dilarang dalam agama Islam.
HUKUM RIYA’
Riya’ merupakan dosa besar. Karena riya’ termasuk perbuatan syirik kecil. Sebagaimana hadits di atas dari shahabat Mahmud bin Labid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.”
Selain riya’ merupakan syirik kecil, ia pun mendatangkan berbagai macam mara bahaya.
BAHAYA RIYA’
Penyakit riya’ merupakan penyakit yang sangat berbahaya, karena memilki dampak negatif yang luar biasa.
Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghilangkan pahala sedekahmu dengan selalu menyebut-nyebut dan dengan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari akhir”. (Al Baqarah: 264)
Dalam konteks ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memberitakan akibat amalan sedekah yang selalu disebut-sebut atau menyakiti perasaan si penerima maka akan berakibat sebagaimana akibat dari perbuatan riya’ yaitu amalan itu tiada berarti karena tertolak di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Ayat di atas tidak hanya mencela perbuatanya saja (riya’), tentu celaan ini pun tertuju kepada pelakunya. Bahkan dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wata’ala mengancam bahwa kesudahan yang akan dialami orang-orang yang berbuat riya’ adalah kecelakaan (kebinasaan) di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya:
“Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)
Diperkuat lagi, adanya penafsiran dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, makna Al Wail adalah ungkapan dari dasyatnya adzab di akhirat kelak. (Tafsir Ibnu Katsir 1/118)
Sedangkan dalam hadits yang shahih, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang berbuat riya’ yaitu Allah subhanahu wata’ala akan meninggalkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu”.
Bila Allah subhanahu wata’ala meninggalkannya siapa lagi yang dapat menyelamatkan dia baik di dunia dan di akhirat kelak?
Dalam hadits lain, Allah subhanahu wata’ala benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (Lihat HR. Muslim no. 1678)
Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.
BAGAIMANA CARA MENGOBATINYA?
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian.
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin /permisi terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan As Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه
“Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya.”
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.
BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal.
Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak ibadah dan selalu waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Riya berasal dari kata ru’yah (penglihatan) sebagaimana sum’ah berasal dari kata sam’u (pendengaran) dari sekedar makna bahasa ini bisa difahami bahwa riya adalah ingin diperhatikan atau dilihat orang lain. Dan para ulama mendefiniskan riya adalah menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka.
Dari definisi tersebut jelas bahwa dasar perbuatan riya’ adalah untuk mencari keredhoan, penghargaan, pujian, kedukan atau posisi di hati manusia semata dalam suatu amal kebaikan atau ibadah yang dilakukannya.
Sering keberadaan riya ini luput dari pengamatan dan perasaan seseorang dikarenakan begitu halusnya sehingga ada yang mengibaratkan bahwa ia lebih halus daripada seekor semut hitam diatas batu hitam di tengah malam yang gelap gulita. Padahal keberadaan riya dalam suatu amal amatlah berbahaya dikarenakan ia dapat menghapuskan pahala dari amal tersebut.
Karena itu, ia disebut juga dengan syirik yang tersembunyi, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy berkata,”Rasulullah saw pernah menemui kami dan kami sedang berbincang tentang al masih dajjal. Maka beliau saw bersabda,”Maukah kalian aku beritahu tentang apa yang aku takutkan terhadap kalian daripada al masih dajjal?’ kami menjawab,’Tentu wahai Rasiulullah.’ Beliau saw berkata,’Syrik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan sholat kemudian membaguskan sholatnya tatkala dilihat oleh orang lain,” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ


Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,” (QS. Al ma’un : 4 – 6)

Al Qurthubi mengatakan bahwa makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakekat riya’adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan kedudukan di hati manusia. (al jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XX hal 439)
Dari Abu Hurairoh bahwa telah berkata seorang penduduk Syam yang bernama Natil kepadanya,”Wahai Syeikh ceritakan kepada kami suatu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah saw.’ Abu Hurairoh menjawab,’Baiklah. Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama kali didatangkan pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan dia diberitahukan berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya. Kemudian orang itu ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’ Dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong, sesungguhnya engkau berperang agar engkau dikatakan seorang pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau dapatkan.’
Kemudian Allah memerintahkan agar wajah orang itu diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang pembaca Al Qur’an dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah mempelajari ilmu dan mengajarinya dan aku membaca Al Qur’an karena Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan seorang yang alim dan engkau membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan seorang pembaca Al Qur’an dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian Allah memrintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan lagi seorang yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan dia menginfakkan seluruh hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab,’Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai untuk berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan didalamnya karena Engkau.’ Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau melakukan hal itu agar engkau disebut sebagai seorang dermawan dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian orang itu diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)
Riya ini bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan. Imam Ghozali mengatakan bahwa apabila didalam diri seseorang yang selesai melakukan suatu ibadah muncul kebahagiaan tanpa berkeinginan memperlihatkannya kepada orang lain maka hal ini tidaklah merusak amalnya karena ibadah yang dilakukan tersebut telah selesai dan keikhlasan terhadap ibadah itu pun sudah selesai dan tidaklah ia menjadi rusak dengan sesuatu yang terjadi setelahnya apalagi apabila ia tidak bersusah payah untuk memperlihatkannya atau membicarakannya.
Namun apabila orang itu membicarakannya setelah amal itu dilakukan dan memperlihatkannya maka hal ini ‘berbahaya’ (Ihya Ulumudin juz III hal 324)
Ibnu Qudamah mengatakan,”Apabila sifat riya’ itu muncul sebelum selesai suatu ibadah dikerjakan, seperti sholat yang dilakukan dengan ikhlas dan apabila hanya sebatas kegembiraan maka hal itu tidaklah berpengaruh terhadap amal tersebut namun apabila sifat riya sebagai faktor pendorong amal itu seperti seorang yang memanjangkan sholat agar kualitasnya dilihat oleh orang lain maka hal ini dapat menghapuskan pahala.
Adapun apabila riya menyertai suatu ibadah, seperti seorang yang memulai sholatnya dengan tujuan riya’ dan hal itu terjadi hingga selesai sholatnya maka sholatnya tidaklah dianggap. Dan apabila ia menyesali perbuatannya yang terjadi didalam sholatnya itu maka seyogyanya dia memulainya lagi. (A Mukhtashar Minhajil Qishidin hal 209)
Sungguh suatu karunia yang besar ketika Allah memberikan kemudahan kepada anda untuk senantiasa melakukan sholat berjama’ah di musholla di saat orang-orang tengah asyik dengan tidurnya. Namun demikian anda perlu berhati-hati karena pada kondisi-kondisi seperti inilah terkadang setan mudah menghembuskan bisikan-bisikannya agar anda berbuat riya’.
Sedangkan keinginan anda untuk mengajak masyarakat di sekitar anda agar mengerjakan sholat shubuh berjama’ah di musholla melalui lisan seorang ustadz adalah perbuatan yang terpuji dikarenakan sholat shubuh di masjid atau musholla merupakan perintah yang sangat dianjurkan Allah swt kepada setiap muslim.
Adapun membicarakan atau menceritakan berbagai aktifitas da’wah yang telah anda lakukan kepada orang lain maka dalam hal ini anda harus berhati-hati karena tidak jarang pada kasus seperti ini menjadikan seseorang manambah-nambah cerita dari yang sebenarnya, berelebih-lebihan atau menikmati setiap pujian yang diberikan orang lain kepadanya.
Sebelum menceritakan apa-apa yang telah anda lakukan didalam da’wah kepada orang lain maka hendaklah anda mampu meraba kekuatan diri anda. Apabila hati anda tetap bersih, melihat semua manusia adalah kecil dimata anda, memandang sama segala pujian dan kecaman orang terhadap anda dan anda hanya berharap dengan menceritakan hal itu kelak orang lain akan mengikutinya atau akan mencintai kebaikan yang ada didalamnya maka hal ini dibolehkan bahkan dianjurkan selama jiwa anda bersih dari berbagai penyakitnya karena menjadikan orang mencintai kebaikan adalah suatu kebaikan.
Seperti yang diceritakan dari Utsman bin ‘Affan bahwa dia mengatakan,”Aku tidak pernah menyanyi, tidak berangan-angan dan tidak juga menyentuh kemaluanku dengan tangan kananku sejak aku membaiat Rasulullah saw.”
Atau seperti yang dikatakan Abu Bakar bin Abbas kepada putranya,”Wasapadalah engkau dari maksiat kepada Allah swt didalam ruangan ini. Sesungguhnya aku telah mengkhatamkan Al Qur’an di ruangan ini sebanyak 12.000 kali.”
Akan tetapi apabila anda melihat bahwa diri anda lemah, tidak tahan dengan pujian orang lain, mudah muncul penyakit hati atau akan memunculkan riya didalamnya apabila menceritakan aktivitas da’wah anda itu maka lebih baik anda menahan diri dari menceritakannya meskipun anda menginginkan agar orang lain mengikutinya atau menyukai kebaikan yang ada didalamnya.
Dan kalaupun anda ingin agar orang lain bisa mengikutinya dan mencintai kebaikan yang ada didalamnya dengan cara menceritakannya maka ceritakanlah aktivitas tersebut kepada mereka tanpa menisbahkannya kepada diri anda demi menghindari adanya riya’ didalamnya.
Adapun beberapa kiat untuk menghilangkan penyakit riya’, menurut Imam Ghozali adalah :
1. Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan anusias dengan apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Abu Musa berkata,”Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan mengatakan,’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang dengan gagah berani, orang yang berperang karena fantisme dan orang yang berperang karena riya’ maka mana yang termasuk dijalan Allah? Maka beliau saw bersabda,’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah maka dia lah yang berada dijalan Allah.” (HR. Bukhori)
2. Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. Berusaha juga untuk melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya pada saat mengerjakan suatu ibadah.
3. DOSA-DOSANYA DIAMPUNI
Rasulullah bersabda, “Allah telah berkata,’Wahai hamba-hamba-Ku, setiap kalian pasti berdosa kecuali yang Aku jaga. Maka beristighfarlah kalian kepada-Ku, niscaya kalian Aku ampuni. Dan barangsiapa yang meyakini bahwa Aku punya kemampuan untuk mengamouni dosa-dosanya, maka Aku akan mengampuninya dan Aku tidak peduli (beberapa banyak dosanya).”(HR.Ibnu Majah, Tirmidzi).
12.MEMBERSIHKAN HATI
Rasulullah bersabda,”Apabila seorang mukmin melakukan suatu dosa, maka tercoretlah noda hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkannya dan beristighfar, maka bersihlah hatinya.”(HR.Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Tirmidzi).
14.MENGIKUTI SUNNAH RASULULLAH
Abu Hurairah berkata,”Saya telah mendengar Rasulullah bersabda,’Demi Allah, Sesungguhnya aku minta ampun kepada Allah (beristighfar) dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali’.”(HR.Bukhari).
====================================
“Tidak bisa iri hati, kecuali kepada dua seperti orang: yaitu orang lelaki yang diberi Allah swt pengetahuan tentang Al-Qur’an dan diamalkannya sepanjang malam dan siang; dan orang lelaki yang dianugerahi Allah swt harta, kemudian dia menafkahkannya sepanjang malam dan siang.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

HADIST TENTANG RIYA DAN NIFAK

Bermanfaat Bagi Yang Lain. Rabu, 02 Februari 2011

1. Riya menyia-nyiakan amal sebagaimana syirik menyia-nyiakannya. (HR. Ar-Rabii')

2. Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

3. Tidak akan tiba hari kiamat sampai penguasa-penguasa tiap umat ialah orang-orang yang munafik. (HR. Ar-Rabii')

4. Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)

5. Seburuk-buruk manusia ialah orang yang mempunyai dua muka, mendatangi kelompok ini dengan wajah yang satu dan mendatangi kelompok lain dengan wajahnya yang lain. (Mutafaq'alaih)

6. Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).

7. Paling banyak orang munafik dari umatku ialah yang pandai bacaannya. (HR. Bukhari)

8. Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli. (HR. Ad-Dailami).

9. Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka. (HR. Ahmad)

===================================================


Tidak ada komentar